Tuesday, September 1, 2009

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Perbedaan Pokok Antara Islam Dan Tasawuf

Manhaj dan jalan Islam berbeda sama sekali dengan manhaj Tasawwuf, dan perbedaan itu mengenai hal yang sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber-sumber pengambilan agama dalam aqidah dan syari’ah. Demikian penegasan Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam buknya Fadhoihus Shufiyyah (Cemar-cemarnya Sufisme), Maktabah Ibnu Taymiyyah, Kuwait, 1404H/ 1984M, halaman 43.

Dijelaskan, Islam menjadikan sumber pengambilan aqidah terbatas pada wahyu yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul saja, yang hal itu yang kita miliki adalah Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits Nabi SAW) saja. Adapun agama sufisme (Ad-Dienus Shuufii) –istilah Abdur Rahman Abdul Khaliq– yang mereka jadikan sumbernya adalah bisikan yang didakwakan datang kepada para wali, dan kasyf (terbukanya tabir hingga mereka tahu yang ghaib) yang mereka dakwakan, dan tempat-tempat tidur (mimpi-mimpi), perjum­paan dengan orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidhir ‘alaihis salaam, bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka namakan para badan halus (ruhaniyyin).

Adapun sumber pengambilan syari’at bagi ahli Islam adalah Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (Al-Hadits), Ijam’ (kesepakatan para ulama terdahulu generasi awal Islam), dan qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum yang sudah ada ketegasannya dari nash/ teks Al-Quran atau Al-Hadits, dengan syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiaskan dengan gandum yang sudah ada nash hadit­snya).

Sedangkan bagi orang-orang tasawwuf, pembuatan syari’at mereka didirikan di atas mimpi-mimpi (tidur), Khidhir, jin, orang-orang mati, syeikh-syeikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syari’at. Oleh karena itu jalan-jalan dan cara-cara pembuatan syari’at tasawwuf itu bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan: Jalan-jalan menuju Allah itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syeikh memiliki tarekat dan manhaj/ jalan untuk pendidikan dan dzikir khusus, lambang-lambang khusus, dan ungkapan-ungkapan khusus. Maka tasawwuf itu adalah ribuan agama, aqidah, dan syari’at; bahkan ratusan ribu tidak terhitung banyaknya, semuanya itu di bawah apa yang dinamakan tasawwuf.

Dan inilah perbedaan asasi (pokok/ dasar) antara Al-Islam dan tasawwuf. Islam itu agama yang muhaddad (ditegaskan batasan ketentuan) aqidahnya, ibadahnya, dan syari’atnya. Sedangkan tasawwuf itu agama yang tidak ada batasannya, tidak ada pengertian (yang ditentukan secara pasti) dalam aqidah ataupun syari­’at-syari’atnya. Inilah perbedaan yang paling besar antara Al-Islam dan tasawwuf. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 43-44).

Garis-garis Besar Aqidah Sufisme

1. Aqidah sufisme mengenai Allah:

Orang-orang tasawwuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam di antaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/ penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al-Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai “kebenaran” dengan ucapan “anal Haq” = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku: “Akulah Tuhan.” )

Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam tasawwuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia tahun 858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki dua (2) sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya.

Dialog yang dalam, tidak terdapat dalam kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggianNya dan Allah pun cinta pada zatNya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada, bentuk (copy) diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan namaNya, dan bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memulia­kannya di syurga dan sebagai khalif di bumiNya. (Drs Shodiq SE, Kamus Istilah Agama, CV Sienttarama Jakarta, cetakan kedua, 1988, hal 122-123).

Kemudian akibat pendapatnya yang mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars, Parsi (Iran) 244H/ 858M ini dihukum bunuh pada tanggal 24 Zulqa’dah tahun 309H/ 26 Maret 922M, di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi ‘l-lah (Ja’far Abu ‘l-Fadhl, yang berkuasa pada tahun 295-320H/ 908-932M. Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham yang menyesatkan (paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi’ah Qaramitah, suatu kelom­pok Syi’ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad ke-11. (lihat Ensiklopedi Islam, Kafrawi Ridwan dkk ed, PT Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta, cet V, 1999, huruf H, hal 74-75).

Sumber lain menyebutkan, Al-Hallaj adalah seorang cucu dari penganut Zoroaster, dibesarkan di Irak. Ia ditu­duh kafir, dibunuh dan disalib karena 4 perkara yang dituduhkan kepadanya:

1. Karena berhubungan dengan orang-orang Qaramithah (Syi’ah ekstrim).
2. Karena ucapannya: “Aku adalah Tuhan Yang Haq.”
3. Karena pengikutnya meyakini akan ketuhanan dirinya.
4. Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Dan di antara aqidah sufi yang lain yaitu Wihdatul Wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya hamba dengan Tuhan, di mana tidak ada pemisahan antara Khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang terakhir yang tersebar sejak abad ketiga Hijriyah sampai hari ini, dan diterapkan akhir-akhir ini oleh setiap tokoh tasawwuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in, At-Tilmasani, Abdul Karim Al-Jilli, Abdul Ghani An-Nablisi dan para tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 44, Al-Fikrus Shufi cet 4, hal 58, As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 21, terjemahannya, hal 23-24).

Ada pula aqidah shufi yang namanya Ittihad, yaitu bersatunya seorang sufi (tasawwuf) sedemikian rupa dengan Allah SWT setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana’) dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baka’ (tetap/ bersatu dengan Allah SWT).

Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh shufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam, Iran, 261H/ 874M).

Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat subuh Yazid al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya: Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa’budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku).” Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.

Menurut pandangan para shufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawwuf.

Dalam keadaan ittihad, seorang shufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan ia mengaku sebagai Tuhan, seperti yang diucapkan al-Bustami di atas (Sesungguhnya aku ini Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku). Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata: Subhani subhani, ma a’dhama sya’ni (Maha Suci aku, Maha Suci aku, alangkah Maha Agungnya aku).

Al-Bustami juga berkata: Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah).

Kata-kata seperti itu disebut Syathahat (perkataan –aneh-aneh– yang keluar dari mulut seorang shufi ketika ittihad, menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan shufi, kata-kata itu bukan keluar dari seorang shufi tetapi kata-kata Allah SWT melalui lisan seorang shufi tetapi sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Zat Allah SWT yang berbicara, tetapi aspek Allah SWT yang ada pada diri shufi itulah yang sedang berbicara. (lihat Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman 286-287).

Betapa jauhnya kepercayaan shufi itu dari Islam. Allah SWT disamakan dengan jin atau syetan yang masuk ke diri manusia hingga manusianya menjadi kesurupan (ke-jin-an/majnun), dan bicaranya ngaco (merancu tak keruan), hanya saja dinamakan syathahat yaitu bicara ngaco namun justru dianggap telah sampai pada tingkatan (maqom) tertinggi –yang mereka tuduhkan– yakni ittihad, menyatu dengan Tuhan. Na’udzubillaahi min dzaalik, dari aqidah yang amat sesat itu.

Lebih jauh salah satu ciri yang biasa diucapkan orang-orang tasawuf yaitu peneyebutan ulama-ulama yang menguasai fikih dan ilmu syara’ sebagai ulama syari’at karena dianggap tidak mengetahui yang batin atau yang ghaib. Sedangkan golongan mereka sepertinya mengetahuinya perihal yang gaib. Padahal Rasulullah saw sendiri tidak mengetahui yang ghaib, bahkan jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi tidak tahu apa yang diperbuat Allah untuk Nabi sendiri esok (lihat dalam bab aqidah). Allah berfirman:

“Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali Allah.” (An-Naml: 65).

Suatau ketika ada sebagian delegasi yang datang ke Nabi SAW, mereka mengang­gap bahwa Nabi termasuk orang yang mengaku bisa melihat yang ghaib, maka mereka menyembunyikan sesuatu di dalam (genggaman) tangan mereka untuk beliau. Dan mereka berkata pada beliau: “Khabarkan pada kami, apa dia (yang ada dalam genggaman kami ini)? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan berteriak:

“Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta dukun-dukun itu di dalam neraka.” (HR Abu Dawud, 286).

Coba kita kembalikan kepada Al-Quran atau Sunnah Rasul, apakah memang aqidah shufi itu cocok. Aqidah shufi terutama ittihad, hulul, dan wihdatul wujud itu sudah mencampuri urusan keghaiban yang tertinggi, yaitu dzat Allah SWT. Padahal, Nabi SAW telah menegaskan:

“Demi Allah, sesungguhnya aku ini pasti utusan Allah, (tetapi) aku tidak tahu apa yang akan Allah kerjakan padaku esok.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari 3/ 358, 6/223 dan 224, 8/ 266 dalam Fathul Bari; dan riwayat Imam Ahmad 6/ 436 dari Ummul ‘Ala’ Al-Andhariyah dengan semacamnya).

2. Aqidah Shufi Mengenai Rasulullah SAW

Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah juga ada bermacam-macam aqidah. Di antaranya ada yang menganggap bahwa Rasul SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang shufi). Dan Nabi SAW (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawwuf seperti perkataan Busthami: “Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri di tepinya.”

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila at-Tashawwuf ya ‘Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar: Kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada di kutub-kutub dunia) shufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding Nabi-nabi tentang Allah dan lebih mengerti tentang syari’atNya yang mengandung kecintaan dan kemarahan.

Di antara mereka (orang-orang shufi) ada yang mempercayai bahwa Rasul Muhammad itu adalah kubah alam, dan dia itulah Allah yang bersemayam di atas Arsy, sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (nur Muham­mad), dan dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam di atas Arasy Allah. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang setelahnya/ pengikutna. (fadhoihus Shufiyyah, hal 44-45, Al-fikrus Shufi, hal 58-59, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, hal 22, terjemahnya halaman 24-25).

3. Aqidah Shufi Mengenai Wali-wali.

Sufisme dalam hal wali-wali juga mempercayai dengan keper­cayaan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang melebihkan wali di atas nabi. Pada umumnya orang shufi menjadikan wali itu menyamai/sejajar dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia (wali) itu mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam.

Orang shufi membagi-bagi wali menjadi beberapa bagian, ada yang disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu di dunia ini, dan ada 4 Wali Kutub yang memegangi pojok-pojok yang empat di dunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai kekuasaan di satu benua dari 7 benua atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba’, yang mereka itu memiliki kekuasaan di kota-kota setiap wilayah di kota. Di kota-kota, demikianlah seterusnya, maka jaringan wali-wali internasional ini menguasai makhluk, dan mereka punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira’, setiap malam mereka melihat taqdir. Cekak aosnya (pendek kata), dunia perwalian (shufi) itu adalah dunia khurafat (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total.

Ibnu Taimiyyah dalam bukunya yang berjudul Al-Furqan baina Auliya’ir Rahman wa Auliya’is syaithan (perbedaan antara wali-wali Tuhan dan wali-wali syetan) mengatakan bahwa sebagian orang musyrik, baik dari Bangsa Arab, India, Turki, Yunani, maupun bangsa lain, mempunyai kegigihan dalam bidang ilmu, kezuhudan, dan ibadah; namun mereka tidak mengikuti dan tidak beriman kepada para Rasul, tidak membe­narkan berita-berita yang Rasul bawa, dan tidak mentaati perin­tahnya. Orang-orang seperti itu bukanlah orang-orang yang beriman, dan bukan pula wali-wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang dihubungi dan dihampiri oleh syetan-syetan. Mereka dapat mengungkapkan beberapa perkara ghaib, atau memiliki beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari sihir. Mereka itu tukang sihir yang dihampiri syetan-syetan. Allah Ta’ala berfir­man:

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (As-Syu’ara: 221-223).

Mereka bersandar kepada Mukasyafat (penyingkapan perkara- perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila mereka tidak mengikuti Rasul, tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman, kekejian, sikap berlebihan, atau bid’ah dalam ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi syetan-syetan, sehingga mereka menjadi wali-wali syetan, bukan wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf/ 43:36).

Pengajaran Allah adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya saw, yakni al-Quran. Barangsiapa tidak beriman kepada Al-Quran, tidak membenarkan beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah berpaling dari Al-Quran, kemudian syetan datang menjadi teman setia baginya.

Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah, baik malam maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Quran, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu terbang di angkasa atau berjalan di atas air. Syetanlah yang membawanya ke angkasa sehingga ia mampu terbang. (Ibnu Taimiyyah, Al-Furqan baina Auliya’ir Rahman wa Auliya’is syaithan, 1396H, hal 11 seperti dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan, Riyadh, cetakan I, 1410H, halaman 24-25, dan terjemahan Indonesia Mewaspadai Tasawuf, Wala Press, Bekasi, I, 1416H/ 1995, hal 28-30).

Wali Allah menurut Al-Quran

Wali Allah menurut Al-Quran tidak seperti yang digambarkan oleh orang tasawwuf. Tetapi wali Allah yaitu orang-orang yang beriman dan bertaqwa, seperti yang ditegaskan Allah SWT dalam firmanNya:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekha­watiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akherat.” (QS Yunus/ 10: 62, 63, 64).

Allah SWT menjelaskan siapa yang dimak­sud dengan wali-wali Allah yang berbahagia itu, dan apakah sebab­nya mereka itu demikian. Penjelasan yang didapat di dalam ayat ini; wali itu ialah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa. Dimaksud beriman di sini ialah orang yang beriman kepada Allah, kepada malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul-rasul-Nya, dan kepada hari qiyamat, dan segala kepastian yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, serta melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Sedang yang dimaksud dengan bertaqwa ialah memelihara diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, baik hukum-hukum Allah yang mengatur tata alam semesta, ataupun hukum syara’ yang mengatur tata hidup manusia di dunia.

Sesudah itu Allah SWT menjelaskan bahwa mereka mendapat khabar gembira, yang mereka dapati di dalam kehidupan mereka di dunia dan kehidupan mereka di akherat. Khabar gembira yang mereka dapati ini, ialah khabar gembira yang telah dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya. Khabar gembira yang mereka dapatkan di dunia seperti kemenangan yang mereka peroleh di dalam menegakkan kali­mat Allah, kesuksesan hidup lantaran menempuh jalan yang benar, harapan yang diperoleh sebagai khalifah di dunia, selama mereka tetap berpegang kepada hukum Allah dan membela kebenaran agama Allah akan mendapat husnul khatimah. Adapun khabar gembira yang akan mereka dapati di akherat yaitu selamat dari kubur, dari sentuhan api neraka dan kekalnya mereka di surga ‘Adn. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, 1985/1986, juz 11, halaman 418-419).

Ada orang yang mengatakan, bahwa wali Allah itu orang keramat, dapat mengerjakan perkara-perkara yang ajaib dan aneh, seperti berjalan di atas air, dapat menerka yang dalam hati orang dan sebagainya. Maka yang demikian itu, bukanlah menurut istilah Al-Quran, melainkan menurut istilah orang tasauf. Bahkan ada juga yang disebut wali Allah, orang yang kurang akalnya, dan ganjil perbuatannya. (Prof Dr H Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, PT Hidakarya Agung Jakarta, cetakan ke-27, 1988M/ 1409H, halaman 300).

4. Aqidah Shufi Mengenai Surga dan Neraka:

Mayoritas orang shufi (menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, semuanya) berkeyakinan bahwa menuntut surga merupakan suatu aib besar. Seorang wali tidak boleh menuntutnya (mencari surga) dan barangsiapa menuntutnya, dia telah berbuat aib.

Menurut mereka, yang patut dituntut adalah al-fana’ (menghancurkan diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah SWT) yang mereka klaim (dakwakan) terhadap Allah, dan melihat keghaiban, dan mengatur alam… Inilah surga orang shufi yang mereka klaim.

Adapun mengenai neraka, orang-orang shufi berkeyakinan juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang shufi yang sempur­na. Karena takut terhadap neraka itu watak budak dan bukan orang-orang merdeka. Di antara mereka ada yang berbangga diri bahwa seandainya ia meludah ke neraka pasti memadamkan neraka, seperti kata Abu Yazid al-Busthami (Parsi, w. 261H/ 874M). Dan orang shufi yang berkeyakinan dengan Wahdatul Wujud (menyatu dengan Tuhan), di antara mereka ada yang mempercayai bahwa orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan keni’matannya, tidak kurang dari keni’matan surga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi dan aqidahnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 46). Seperti disebutkan dalam buku Ibnu Arabi, Fushushul Hukm.

Orang jahil di masa kita sekarang kadang menyangka bahwa aqidah mengenai surga (model shufi) ini adalah aqidah yang ting­gi, yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka. Ini tidak diragukan lagi (jelas) menyelisihi aqidah kita yang terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa:

“Mereka berdo’a kepada Kami dengan harap (roghoban) dan takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’.” (QS Al-Anbiyaa’: 90).

Ar-roghob yaitu mengharapkan surga Allah dan keutamaanNya, sedang ar-rohab yaitu takut dari siksaNya, padahal para nabi itu mereka adalah sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya, keimanannya, dan keadaannya.

Dan (landasan) dari As-Sunnah: Perkataan seorang Arab Badui kepada Nabi SAW:

“Wallahi, sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dandanik –suara tak terdengarmu) dan bacaan lirih Mu’adz. Namun hanya aku katakan, “Ya Allah, aku mohon surga kepadaMu, dan berlindung kepadaMu dari neraka.” Lalu Rasulullah saw berkata: “Sekitar itu juga bacaan lirih kami.” (Hadits Riway­at Ibnu Majah).

Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang shufi untuk diwujud­kan yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan (surga) dan tanpa merasa takut (neraka), maka menyeret mereka kepada bencana. Mereka berusaha kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu yang disebut fana’ (meleburkan diri) dengan Tuhan, dan ini menyeret mereka kepada al-jadzdzab (merasa melekat dengan Tuhan), kemud­ian menyeret mereka pula kepada al-hulul (inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia), kemudian menyeret mereka pula pada puncaknya kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan hamba/manunggaling kawula Gusti). (As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 26-27).

5. Aqidah Shufi Mengenai Iblis dan Fir’aun

Mengenai iblis, kebanyakan orang shufi, khususnya para penga­nut kepercayaan wihdatul wujud, berkeyakinan bahwa iblis adalah hamba yang paling sempurna dan makhluk yang paling utama tauhid­nya. Karena menurut anggapan mereka, iblis tidak mau sujud kecua­li kepada Allah. Dan mereka mengklaim bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa iblis dan akan memasukkannya ke surga. Demikian pula anggapan mereka, Fir’aun adalah seutama-utamanya orang yang mentauhidkan (mengesakan) Allah (muwahhidien). Karena Fir’aun berkata: “Saya adalah Tuhanmu yang tertinggi” maka ia mengetahui hakekat, karena setiap yang wujud itu adalah Allah, kemudian dia (Fir’aun) menurut klaim mereka, telah beriman dan masuk surga. (lihat Syarh Fushushul Hukm, halaman 418, Fadhoihus Shufiyyah

Pageviews last month