Tuesday, July 21, 2009

ACEH DAN IRAQ

*Pembebasan 8, 2003

Militerisme AS Demi Berlangsungnya Kapitalisme Global

Tak lama setelah dikuasainya Irak oleh AS dan sekutu-sekutunya, Rejim Megawati-Hamzah seperti tak mau ketinggalan dalam gerbong genderang perang kapitalis terhadap rakyat miskin. Tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah RI menyatakan Aceh di bawah kekuasaan darurat militer dan unit-unit TNI dan Polri dengan segera bergerak maju menghantam daerah-daerah yang dikatakan sebagai basis GAM.

Pola serangannya benar-benar mirip, meski ada konteks yang jelas berbeda. Jika AS dan sekutu-sekutunya menggunakan PBB dan tim inspeksi senjata pemusnah massal untuk kasus Irak, TNI menggunakan COHA (perjanjian penghentian permusuhan) untuk memetakan kekuatan GAM. Di Afghanistan AS menggunakan pembagian makanan dan obat-obatan untuk menurunkan derajat permusuhan rakyat atas serangan tentaranya, di Aceh rejim Megawati-Hamzah mengikutkan bantuan pangan dan uang agar rakyat pedesaan Aceh mau mengungsi ke kota-kota sehingga GAM kehilangan jalur-jalur logistiknya. Baik AS maupun Megawati-Hamzah menggunakan jumlah pasukan yang besar, persenjataan berat, dan tak ragu menembaki rakyat sipil. Bahkan angka korban sipil dan pengungsi secara terang-terangan diramalkan oleh keduanya seperti layaknya ramalan cuaca.

Tak juga terlihat bedanya peran media massa besar, baik cetak maupun televisi, yang menyajikan kedua perang kolonial tersebut dalam kemasan yang membuat kekerasan militer adalah kehidupan sehari-hari, sesuatu yang harus dianggap wajar oleh rakyat. Dengan terang-terangan kebohongan yang dilakukan oleh Bush-Blair dan Megawati-Hamzah dipompakan dalam pesta pora penyebarluasan militerisme. Tak peduli dengan sudut pandang yang menjadi tradisi masing-masing media massa, dukungan pers dengan para reporter yang ikut dalam unit-unit tempur telah dimenangkan oleh para militeris, baik dari sipil ataupun militer sendiri, dalam pemerintahan Bush dan Megawati-Hamzah.

Yang membedakan antara Bush dan Megawati-Hamzah adalah kenyataan bahwa Bush adalah tuan tempat Megawati-Hamzah mengabdi. Inilah yang dapat kita jadikan sandaran untuk mengatakan argumen-argumen nasionalis Megawati-Hamzah, yang terus-menerus juga disuarakan oleh para militeris-fasis Susilo Bambang Yudhoyono, Endrartono Sutarto, Ryamizard Ryacudu, adalah sebuah kebohongan. Kepentingan imperialis di Aceh lah yang menjadi alasan penggunaan perang untuk menyelesaikan persoalan Aceh, demi meningkatkan “martabat” dan “gengsi” mereka di antara elit imperialis. Jika memang benar mereka menyerang Aceh karena untuk menjaga kesatuan RI, apakah mereka akan menyerang IMF dan Bank Dunia yang menghancurkan landasan ekonomi nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia? Sama halnya dengan kalimat perdamaian dalam Pakta Pendirian PBB, NKRI adalah mitos yang digunakan oleh kelas kapitalis untuk menggunakan kekuatan militer demi melindungi kepentingan mereka. Perang di Aceh dan Irak adalah perang kolonial untuk melindungi kepentingan-kepentingan imperialis di kedua wilayah tersebut. GAM dan Saddam harus pergi dan tak lagi mengganggu ladang minyak dan gas bumi milik imperialis AS.

Laju globalisasi, yang tidak lain adalah perluasan dan pendalaman pengaruh kekuasaan imperialisme AS dan sekutu-sekutunya, telah menciptakan berbagai macam ketidakstabilan. Penghancuran pasar-pasar domestik negeri-negeri dunia ketiga, melalui Program-Program IMF, tidaklah menyelesaikan krisis kelebihan kapasitas produksi. Tidak juga menjawab atas pertanyaan bagaimana menjual hasil-hasil produksi yang jumlahnya berlebihan di negara maju, yang menurunkan tingkat keuntungan yang diperoleh kapitalis negara maju. Malahan proses itu telah membuat elemen-elemen rakyat dunia ketiga melakukan perlawanan atas perampokkan yang mereka alami. Aksi-aksi rakyat dunia ketiga sangat jelas tidak dapat dihentikan oleh agen-agen mereka. Inilah yang kemudian menimbulkan kebutuhan imperialis AS untuk mengamankan hasil-hasil jarahannya. Lalu jalan militerlah, perang-perang di negeri-negeri dunia ketiga, yang kemudian menjadi jawaban kapitalis atas krisis keberlangsungan kapitalisme global.
Peta Militer Amerika di Dunia

Mari kita perhatikan pidato Bush di depan generasi baru militeris yang baru lulus dari akademi militer West Point, 1 Juni 2002:

“Banyak waktu dalam abad yang lalu, pertahanan Amerika mengandalkan doktrin penggertakkan (deterrence) dan pengungkungan (containment). Dalam beberapa kasus, strategi tersebut masih dapat berlaku. Tapi ancaman-ancaman baru juga memerlukan pemikiran baru. Penggertakkan-janji melakukan pembalasan besar-besaran terhadap bangsa lain-tak akan berguna untuk melawan jaringan teroris yang tak harus membela bangsa dan rakyat… Pengungkungan tak akan mungkin ketika diktator yang kuat bersenjatakan senjata pemusnah massal dapat meluncurkan senjata atau rudal tersebut ataupun memberikan senjata tersebut pada teroris sekutunya… Jika kita tunggu ancaman-ancaman tersebut mematangkan diri, kita akan terlalu lama menunggu… Perang Melawan Teror tak akan dimenangkan dengan cara bertahan. Kita harus bertempur melawan musuh-musuh kita, ganggu rencana-rencana mereka, dan hadapi ancaman yang terburuk sebelum ancaman tersebut muncul. Dalam dunia yang kita masuki saat ini, satu-satunya jalan yang menuju keamanan adalah bertindak. Dan bangsa Amerika akan bertindak.”

Pidato ini adalah gambaran paling tepat dari semangat kaum militeris Amerika. Bukan sebatas menunggu diserang, kini AS telah menebar ancaman serangan militer ke berbagai negara. Bahkan untuk kasus Iran dan Suriah, AS mampu melakukan serangan segera dengan kekuatan pasukannya yang ditempatkan di Timur Tengah. Dengan dua ratus ribu tentara, dengan 96.000 prajurit tempur dan tambahan 55000 tentara yang menuju daerah Teluk Persia, jelaslah bukanlah direncanakan untuk ‘membebaskan’ Irak. Untuk kasus Korea Utara, beberapa tahun terakhir kira-kira 85.000 prajurit AS ditempatkan di Jepang dan Korea Selatan. Secara keseluruhan, kira-kira setengah juta tentara AS bersama dengan 400 kompleks militer ditempatkan di seluruh belahan dunia. Jelas hal ini menempatkan AS sebagai negara yang paling berkuasa dan paling berpengaruh terhadap negara-negara lain. Bahkan, dengan kekuatan militernya, AS-lah yang paling mampu menjamin keberlangsungan dunia imperialis.

Hal ini disadari oleh negeri-negeri imperialis lain, yang kekuatan militernya jauh lebih kecil daripada AS. Selama Perang Dingin hanya blok Soviet yang mampu menandingi kekuatan militer AS. Karena itu, meski selalu akan ada percekcokan antara negara-negara imperialis dengan AS, seperti yang dilakukan oleh Jerman dan Perancis sebelum Irak diserang, namun dengan segera negara-negara itu memperbaiki hubungannya dengan AS. Mereka juga tetap membutuhkan kehadiran militer AS di sekitar negeri-negeri dunia ketiga yang sedang menjadi target perampokkan imperialisme. Semua imperialis jelas memiliki kekhawatiran akan munculnya pemerintahan-pemerintahan yang independen, menolak masuk dalam arus globalisasi. Negara-negara yang dikategorikan sebagai The Rogue (penjahat), sebenarnya adalah negara-negara yang tidak bisa dimasuki oleh imperialis dengan program pasar bebasnya. Terlepas dari tingkat demokrasi negara tersebut, mereka memiliki kepentingan nasional yang masih utuh, biarpun didera oleh embargo ekonomi yang diberlakukan AS dan kekuatan militernya.
Sekelumit Sejarah

Akan terlalu panjang untuk menderetkan sejarah aktivitas militer AS di seluruh dunia. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan melihat sedikit gambaran pokok mengenai langkah-langkah mereka dalam kaitan dengan kepentingan ekonomi politik di dunia.

Pembukaan akses masuk pasar dengan cara yang militeristik bukanlah metode yang baru bagi imperialisme AS. Bahkan cara ini menjadi ciri dari imperialisme AS dalam sejarah dunia abad 20. Ekspedisi-ekspedisi pembukaan pasar lebih banyak dilakukan AS, dibanding Jerman atau Jepang sebelum Perang Dunia I. Begitu para kapitalis nasionalnya membutuhkan pasar-pasar baru, dengan segera terjadi pengiriman pasukan. Sejarah mencatat bahwa wilayah barat AS, dari Texas sampai California, didapat dengan cara perampasan dari suku-suku Indian Amerika dan Negara Meksiko.

Menjelang perempat akhir abad 19, pasukan koalisi negara-negara imperialis yang masih muda bersatu menghantam kekuatan rakyat Cina yang menolak masuknya barang-barang negeri-negeri imperialis. Konflik yang dikenal sebagai Perang Boxer ini, menghasilkan pembagian wilayah-wilayah pelabuhan daratan Cina di antara para imperialis. Sebelumnya, ekonomi Jepang yang tertutup dipaksa dibuka oleh kehadiran kapal-kapal perang AS yang dipimpin oleh Laksamana Perry.

Konflik AS melawan rakyat Kuba bukanlah baru dimulai ketika kaum revolusioner di bawah pimpinan Castro dan Che Guevara merebut kekuasaan tahun 1958. Pada akhir abad 19, AS dengan terbuka melibatkan diri berperang bersama Spanyol untuk merebut Kuba. Pada saat itu, ada gerakan revolusioner rakyat Kuba melawan penjajahan Spanyol, yang mana perang tersebut membahayakan stabilitas perdagangan AS di Karibia. Bahkan pada saat itu, perlawanan terhadap penjajah Spanyol sedang meluas di berbagai negara, dalam bentuk yang revolusioner. Itulah yang menyebabkan AS, setelah berhasil meredam dan merepresi perlawanan rakyat Kuba, juga mengirimkan pasukannya ke berbagai negara Amerika Latin seperti Panama, El Salvador, dan lain-lainnya. Kemudian, pemerintahan-pemerintahan boneka pro AS segera didirikan. Namun, setelah Perang Dunia I, AS berulang kali mengirimkan pasukan ke negeri-negeri Amerika Latin untuk meredam pemberontakkan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintahan-pemerintahan boneka tersebut.

Setelah Perang Dunia II yang menempatkan AS dan Uni Soviet sebagai pemenang, gerakan revolusioner di negeri-negeri jajahan meluas dan muncul sebagai pemberontakkan pembebasan nasional. Cina, Indonesia, Vietnam, Aljazair, Korea, dan Malaysia, tiba-tiba menjadi ladang subur yang mengandung bibit-bibit pemerintahan pro rakyat, pemerintahan kiri. Satu per satu melepaskan diri dari ikatan kolonialnya dan merdeka. Namun sangat terlihat, kekuatan militer AS dengan segera turut campur untuk meredam gerakan-gerakan pembebasan nasional tersebut. Lepasnya negeri-negeri tersebut dari penjajah lama membuat AS mengirimkan agen-agen sabotase dan pasukan. Di Korea, atas nama Dewan Keamanan PBB, pasukan AS yang dipimpin Jenderal Douglas McArthur menyerang kota-kota yang dikuasai oleh Tentara Rakyat Korea, dan memaksakan pembagian Korea menjadi dua.

Perang Vietnam mungkin menjadi titik balik ekspansi militeristik AS dengan menggunakan penempatan pasukan secara besar-besaran. Berkekuatan setengah juta pasukan wajib militer (conscript) yang didukung oleh armada lautnya, AS mencoba meredam gerakan pembebasan nasional Vietnam. Namun rakyat Vietnam yang sebelumnya berhasil menghancurkan Kolonialisme Perancis, kemudian “menggulung” (meminjam bahasa Pramoedya Ananta Toer) militer superpower AS. Pelajaran dari Vietnam memang membuat taktik intervensi militer AS berbeda, dan semakin mengandalkan senjata jarak jauh dan senjata pemusnah massal. Pengiriman pasukan dalam jumlah besar memiliki resiko yang besar terhadap pemerintah AS sendiri. Setelah Perang Dunia II saja, terjadi gerakan menuntut pemulangan pasukan di antara tentara AS. Ketika Perang Vietnam berlangsung, tekanan rakyat AS yang bersolidaritas dengan rakyat Vietnam berubah menjadi gerakan yang setiap waktu bisa meledak menjadi pemberontakkan revolusioner.
Militerisme Sebagai Solusi

Kondisi krisis yang memuncak pada pertengahan tahun 2001 akhirnya membuat para kapitalis AS kembali mengutamakan kebijakan militerisme. Hal tersebut disebabkan berbagai kebutuhan mendesak para kapitalis untuk menjaga posisi kelas mereka.

Pertama, perlawanan terhadap kapitalisme dalam isu anti globalisasi telah mencapai tingkat mobilisasi massa yang tinggi. Bahkan perlawanan ini telah melahirkan embrio kerja sama antar rakyat dari berbagai negeri untuk melawan kapitalisme dan telah mewujudkan diri dalam mobilisasi puluhan sampai ratusan ribu massa untuk menantang setiap pertemuan para kapitalis dunia. Sampai-sampai pertemuan WTO dipindahkan ke Doha, Qatar, karena rasa takut kaum kapitalis atas militansi perlawanan anti kapitalisme. Kini menyebarluas di seluruh dunia, baik di negara-negara maju ataupun negara dunia ketiga, usaha-usaha untuk merampas demokrasi dengan pemberlakuan undang-undang anti teroris yang mengijinkan pengintaian terhadap organisasi atau individu yang digolongkan berpotensi menjadi teroris, penangkapan atas dasar kecurigaan, dan penahanan tanpa batas. Jika dilihat definisi terorisme yang ada di semua undang-undang, aksi mogok, pemogokkan umum, dan sejenisnya dapat digolongkan sebagai terorisme. Pemerintahan Bush baru-baru ini menambahkan 37 milyar dolar ke anggaran pertahanan dalam negeri yang sudah mencapai 29 milyar USD, seiring dengan pembangunan Departemen Keamanan Dalam Negeri dan penambahan kekuasaan dan tenaga kepolisian.

Kedua, seperti dalam krisis kapitalisme yang melatar belakangi Perang Dunia II, ada kebutuhan kapitalisme untuk menyelamatkan industri-industri besar yang mengalami kelebihan kapasitas produksi dengan mengedepankan kembali pengembangan industri militer. Untuk hal ini, tahun 2003 ini Kongres AS menyetujui penambahan 30 milyar USD atas anggaran militer AS, sehingga mencapai 330 milyar USD (sepuluh kali lipat dari APBN Indonesia). Untuk program pengembangan pesawat tempur baru, AS akan menghabiskan 200 milyar USD selama sepuluh tahun, sementara untuk program perlindungan AS terhadap rudal balistik akan menghabiskan 70 milyar USD selama 5 tahun. Selain menyelamatkan dunia industri, program-program militer ini dapat dipastikan membiayai pengembangan-pengembangan teknologi baru, membebaskan para kapitalis besar AS dari biaya pengembangan teknologi industri mereka-karena semua itu akan ditanggung negara dengan uang pajak yang diambil dari rakyat miskin (ingat, di AS kini para kapitalis dibebaskan dari pajak dengan alasan pertumbuhan ekonomi).

Ketiga, kebijakan militerisme ini juga tidak dapat dilepaskan dari upaya mencari sumber-sumber akumulasi modal baru. Upaya tersebut bahkan sejak lama dirumuskan, ketika masa pemerintahan Clinton. Sistem kapitalisme pada negara-negara imperialis adalah sistem yang sangat haus dana segar untuk terus dapat bertahan dan berkembang. Minyak bumi dan komersialisasinya menjadi penentu timbulnya sumber-sumber akumulasi ini. Tanpa dikuasainya minyak bumi Irak, pemulihan ekonomi kapitalisme global, terutama di daerah-daerah jarahan (Asia Tenggara, Afrika Utara, Amerika Latin) akan terus-menerus dalam kondisi suram.

Keempat, kapitalisme global sedang menghadapi krisis legitimasi ideologi yang justru bukan pada negeri-negeri jarahan, tetapi berkembang meluas di dalam negeri-negeri dunia pertama. Karena itu sangat penting bagi AS untuk memusnahkan negara-negara yang menjadi alternatif ideologis terhadap idelogi pasar bebas AS. Penghancuran Korea Utara dan Kuba akan dijadikan bukti yang akan dibawa oleh AS ke rakyat manapun bahwa pasar bebaslah yang akan menang.

Pageviews last month