Saturday, November 29, 2008

ALEE DEMO BRR

Menelisik Bangkitnya Budaya Kritis di Aceh Pasca MoU Helsinki
[Opini]

Menelisik Bangkitnya Budaya Kritis di Aceh Pasca MoU Helsinki

Oleh M Ridwan



Tersedia ruang penyampaian aspirasi warga dalam suatu proses pembangunan dengan berbagai bentuk kegiatan sesuai aturan berlaku merupakan salah satu indikasi bahwa demokratisasi telah berjalan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kebebasan berekspresi selain menunjang fungsi kontrol atas penyimpangan yang mungkin terjadi sekaligus menunjukkan hilangnya suatu orde tirani. Di sisi lain, sikap kritis akan menjadi modal yang menstimulus upaya-upaya pencapaian kesejahteraan sosial selama dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah.

Kecenderungan terkini pada era Pemerintahan Aceh Pasca MoU Helsinki, mulai bangkitnya sikap kritis warga Aceh atas penyelenggaraan berbagai kebijakan yang dinilai belum sesuai dengan harapan, baik di bidang politiik, ekonomi dan sosial budaya. Fenomena tersebut terjelma dalam bentuk-bentuk aktivitas yang tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku dan jauh dari anarkis seperti aksi unjuk rasa, penyampaian pers release, diskusi, seminar, lokakarya dan workshop. Adapun aktor pembaruan yang tampil ke permukaan terdiri dari kalangan LSM, mahasiswa, Ormas bahkan hingga masyarakat tingkat kelurahan. Implikasi dari perkembangan tersebut dapat membawa Aceh pada era keterbukaan dan demokratisasi yang semakin dinamis, dengan konsekuensi makin terbuka kesempatan bagi ideologi global masuk dan merambah dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh yang disebarkan oleh kalangan NGO asing. Hal yang perlu dicermati adalah, bagamaina mengatur agar perebutan ideologi global tidak sampai merusak perdamaian yang telah tercipta dan ideologi negara tetap tegak.




Gejala bangkitnya sikap kritis di Aceh


Serangkaian peristiwa yang menandai bangkitnya budaya kritis di Aceh adalah, penyelenggaraan pemerintahan Aceh pasca di lantiknya Irwandi Yusuf. Sikap yang nota bene eks GAM telah dievaluasi dan dikoreksi melalui gelar diskusi bertema Implementasi UU Pemerintahan Aceh oleh BEM IAIN Ar Ranairy, di Banda Aceh pada 13 November 2007. Selain itu, pada 12 November 2007, di Banda Aceh, kegiatan lokakarya yang diselenggarakan dan dibiayai oleh NDI (National Democratic Institute) membahas tentang multi partai. Pada 10 November 2007, di Banda Aceh, berlangsung diskusi dwimingguan BEM IAIN Ar Ranairy yang dibiayai NGO dari Jerman Frederich Ebert Stiftung (FES) menyorot Eksistensi GAM Pasca MoU.

Di bidang penegakan hukum, LSM dan Ormas Aceh yang tergabung dalam Koalisi Aktivis Anti-Korupsi Aceh mengkritisi surat dukungan Gubernur Provinsi NAD Irwandi Yusuf atas grasi terpidana kasus korupsi mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh, yang dianggap sebagai pengingkaran terhadap pemberantasan tindak korupsi. Selanjutnya, LSM GERAK Banda Aceh melalui siaran persnya meminta aparat penegak hukum untuk melakukan pengusutan kasus indikasi korupsi di Badan Pelayanan Teknologi Kesehatan (Bapeltekes) Aceh Besar secara tuntas. Di Bireun, Gabungan Solidaritas Anti-Korupsi(GASAK) dalam siaran persnya berjudul \"Kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Bireuen menyoal kasus dugaan tindak korupsi Bupati dan Wakil Bupati Bireuen periode 2007-2012, yakni kasus pemotongan rapel 72 orang.

Dari aspek ekonomi, program-program rehabiltasi dan rekonstruksi Aceh pasca-tsunami tak luput dari sorotan berbagai elemen masyarakat seperti diantaranya tersirat pada pernyataan Ahmad Humam Hamid (Direktur Aceh Recovery Forum) pada diskusi publik di Hotel Grand Nanggroe “Mengawal Demokrasi Membangun Aceh Baru dan Siapkah NGO Lokal”, di Banda Aceh 14 November 2007, yang mengatakan penyerahan aset BRR nantinya akan disertai dengan banyak permasalahan, karena triliunan rupiah uang yang sudah masuk ke Aceh yang juga digunakan untuk pembelian aset BRR. Aktivitas ekonomi, tenaga kerja, budaya di Aceh saat ini sangat meruncing. Sebelumnya, pada 12 November 2007, di kantor DPRD Prov NAD, sekitar 10 orang tergabung dalam Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Aceh Untuk Kritisi BRR (ALEE) dipimpin Muklisin melakukan aksi unjuk rasa menuntut dihadirkan BPK Internasional untuk mengaudit BRR, mendesak BPK dan DPRD Prov NAD untuk mengaudit BRR. Selain itu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh dalam siaran pers tertanggal 13 November 2007, menyesalkan kunjungan pejabat BRR ke luar negeri yang menghambur-hamburkan uang rakyat; mendesak BRR untuk fokus menyelesaikan tugasnya dalam setahun ini, khususnya dalam melakukan relokasi bagi korban tsunami yang masih banyak tinggal di barak-barak pengungsi; mendesak pihak BRR untuk memecat T Kamaruzzaman (mantan juru runding GAM yang sekarang sebagai Sekretaris BRR NAD-Nias) jika terbukti melakukan perjalanan dinas fiktif; mendesak KPK untuk mengusut kasus ini jika memang terindikasi korupsi. Selanjutnya, pada 13 November 2007, di Simpang Lima Kota Banda Aceh, sekitar 40 mahasiswa dan pelajar tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Lamno (IPEMAL) dipimpin Royandi melakukan aksi unjuk rasa. Dalam aksinya mereka menuntut BRR NAD-Nias, UNORC (United Nations Organization Rehabilitation Coordination), Pemda NAD dan Pemda Aceh Jaya untuk tidak lagi mengeksploitasi masyarakat di wilayah Kab Aceh Jaya serta tidak menjual penderitaan masyarakat Aceh Jaya kepada dunia internasional.

Di bidang sosial budaya, KAMMI Provinsi NAD dalam siaran persnya berjudul \"Renstra Penerapan Syariat Islam di Aceh Tidak Jelas!\" mempersoalkan penerapan syariat Islam di Aceh dengan mengatakan antara lain, rencana strategis penerapan syariat Islam di Aceh tidak jelas, baik untuk pembangunan jangka pendek maupun jangka panjang karena belum dibuat atau belum disosialisasikan. Sampai saat ini banyak masyarakat belum tahu bagaimana rencana atau target penerapan syariat Islam yang akan dilakukan. Selain itu, Pada 12 November 2007, di halaman kantor Kelurahan Ujung Kalak, Kec Johan Pahlawan, Kab Aceh Barat, berlangsung aksi unjuk rasa sekitar 75 orang masyarakat Kel Ujung Kalak (yang masih tinggal di Barak Lapang I), dipimpin Fikriadi (Aktivis ASOH) menuntut disalurkannya kembali beras untuk rakyat miskin (Raskin) yang selama 10 bulan terakhir (sejak Januari 2007) sudah tidak lagi disalurkan Kelurahan Ujung Kalak. Selanjutnya, 50 orang masyarakat Desa Kuta Makmue, Kec Kuala, Kab Nagan Raya melakukan aksi unjuk rasa di Mapolres Nagan Raya pada 5 November 2007, menuntut penyelesaian ganti rugi tanah yang digunakan untuk pembangunan PLTU.


Prospek demokratisasi dan perdamaian di Aceh

Fenomena kebangkitan sikap kritis di Aceh tersebut senafas dengan jiwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang memberikan ruang kebebasan partisipasi warga dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan ditentukan pula oleh komitmen semua pihak, Pemerintah Pusat, Pemda dan berbagai elemen masyarakat Aceh termasuk eks GAM untuk tetap memelihara dan menjaga perdamaian.

Adanya peran NGO asing dalam proses perkembangan demokratisasi di Aceh sulit untuk dibantah. Kehadiran NGO asing yang seharusnya hanya untuk program-program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh saat ini telah merambah ke area politik. Dengan berperan sebagai sponsor dari kegiatan kegiatan seminar atau diskusi publik di lingkungan perguruan tinggi atau forum kemasyarakatan lainnya, NGO asing berusaha mempengaruhi perkembangan demokratisasi di Aceh dengan tujuan politis tertentu. Kehadiran NGO asing di area politik di satu sisi dapat mendorong demokratisasi lebih berkembang, namun agenda politis mereka perlu untuk terus dicari titik terangnya sehingga tidak kontra produktif bagi upaya memelihara kelanjutan perdamian di Aceh.


Ke depan, warga Aceh bersama dengan warga Indonesia di provinsi lainnya akan menghadapi Pemilu 2009. Pemilu 2009 di Aceh akan diikuti oleh Parpol nasional dan partai lokal, kompetisi antara kekuatan politik untuk memperoleh dukungan suara akan semakin ketat, gesekan horisontal dan vertikal sangat mungkin terjadi jika masing-masing kekuatan politik mengabaikan komitmen perdamaian dan lebih mengejar ambisi politik. Masih adanya komponen kekuatan politik di Aceh yang berkeinginan untuk memaksakan kehendak politiknya yang menyimpang dari UU PA sangat memungkinkan terbukanya konflik horisontal dan vertikal. Keinginan para pengurus Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk membentuk Partai GAM sebagai peserta Pemilu 2009 cukup berisiko terhadap perdamaian, mengingat lambang dan nama GAM identik dengan semangat separatis dan mengusik rasa kebangsaan.

Dalam konteks ini, kebangkitan budaya kritis yang sesuai dengan ketentuan hukum sangat diperlukan sebagai wahana pendidikan politik. Perbedaan pandangan dalam penyelenggaraan upaya perwujudan Aceh yang lebih baik dapat diterjemahkan sebagai ajang pelatihan menuju demokratisasi. Ujian dari perjalanan demokratisasi Aceh ke depan adalah Pemilu 2009. Dengan tetap bersandar pada konstitusi negara UUD 1945 yang telah dikukuhkan melalui proses panjang kehidupan sejarah Negara Republik Indonesia, semoga warga Aceh dapat melaksanakan pesta demokrasi Pemilu 2009 tanpa riot, chaos, dan anarkis.

-------------------------------------
Penulis adalah pemerhati masalah sosial, tinggal di Jakarta

Pageviews last month