Tuesday, February 3, 2009

UUPA, MENUAI HASIL

Stockholm, 1 September 2006

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.


MEREKA YANG MEMAKAI UU No.11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACHEH SEBELUM
DIREVISI ADALAH GOLONGAN PRO-STATUS-QUO.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.


ORANG-ORANG YANG MEMAKAI JALUR UU No.11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN
ACHEH SEBELUM DIREVISI ADALAH GOLONGAN PRO JAKARTA DAN PRO-STATUS-QUO.

Beberapa hari yang lalu ada seorang anggota mimbar bebas ini yang
menyampaikan pendapatnya kepada Ahmad Sudirman, yang menyangkut Acheh yang
diformulasikan dalam bentuk hasil buah pikirannya yang berbunyi ”bahwa kalau
kita boikot pilkada, maka pilkada akan tetap saja dijalankan, dan orang
orang yang pro-status-quo akan memerintah sampai 2011. Makna MoU untuk
menciptakan Acheh yang baru akan gagal, pilkada hanya akan menjadi
pemindahan kekuasaan dari sebuah pemda pro Jakarta ke pemerintah Acheh yang
pro Jakarta juga. Perjuangan agar UU PA direvisi tetap kita jalan kan, namun
wewenang yang bisa kita ambil, tetap kita ambil.”

Setelah Ahmad Sudirman mempelajari dan mendalami serta menganalisa buah
pikiran orang tersebut diatas secara berulang kali, maka timbul pertanyaan
dalam pikiran Ahmad Sudirman yaitu, apakah sanggup dan bisa Kepala dan Wakil
Kepala Pemerintah Acheh yang sudah berada dalam model sistem UU No.11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh yang sebagian isinya bertentangan dengan MoU
Helsinki untuk melakukan tindakan politik dalam bentuk perjuangan untuk
merevisi UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh disesuaikan dengan
MoU Helsinki?

Dimana, pertanyaan Ahmad Sudirman itu timbul didasarkan pada apa yang
dinyatakan oleh orang tersebut diatas, yaitu ”kalau kita boikot pilkada,
maka pilkada akan tetap saja dijalankan, dan orang orang yang pro-status-quo
akan memerintah sampai 2011.”

Nah, ada tiga kesalahan yang dijadikan dasar argumentasi oleh orang tersebut
yaitu:

Pertama, istilah pilkada atau pemilihan kepala daerah yang disebut gubernur
adalah salah total karena istilah nama kepala daerah atau gubernur tidak
disepakati dalam MoU Helsinki. Adapun yang sesuai dengan MoU Helsinki adalah
nama Kepala Pemerintah Acheh. Jadi kalau akan diadakan proses pemilihan
Kepala Pemerintah Acheh, maka namanya adalah pemilihan Kepala Pemerintah
Acheh atau disingkat menjadi pilkapa. Istilah nama gubernur tidak pernah
disepakati dalam MoU Helsinki melainkan yang disepakati adalah ”gelar
pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah
pemilihan umum yang akan datang.” (MoU 1.1.3.)

Kedua, selama UU No.11 tahun 2006 tentang PA belum direvisi, maka siapapun
yang ikut dalam pilkapa 11 Desember 2006 adalah otomatis sebagai ”orang
orang yang pro-status-quo”, artinya orang-orang yang sedang menjalankan
otonomi, bukan Self-Government sebagaimana yang telah disepakati oleh GAM
dan pemerintah RI yang dituangkan dalam MoU Helsinki.

Ketiga, sebaiknya apabila UU No.11 tahun 2006 tentang PA ini tidak direvisi
sampai bulan November 2006 yang namanya pemilihan kepala daerah model DPR RI
harus diboikot oleh seluruh rakyat Acheh.

Dari tiga alasan diatas menggambarkan bahwa siapa saja yang akan berhasil
terpilih menjadi kepala dan wakil kepala daerah berdasarkan model UU No.11
tahun 2006 tentang PA adalah otomatis orang tersebut menjadi ”orang orang
yang pro-status-quo” atau orang-orang yang sedang menjalankan otonomi, bukan
Self-Government.

Nah sekarang, kita sudah bisa memberikan tanggapan atas hasil buah pikiran
orang tersebut diatas yang menyatakan bahwa ”kalau kita boikot pilkada, maka
pilkada akan tetap saja dijalankan, dan orang orang yang pro-status-quo akan
memerintah sampai 2011, maka MoU untuk menciptakan Acheh yang baru akan
gagal, pilkada hanya akan menjadi pemindahan kekuasaan dari sebuah pemda pro
Jakarta ke pemerintah Acheh yang pro Jakarta juga” adalah alasan yang
benar-benar kosong dan keropos. Walaupun diembel-embeli dengan ”perjuangan
agar UU PA direvisi tetap kita jalankan, namun wewenang yang bisa kita
ambil, tetap kita ambil” adalah makin jauh meluncur kejurang dekapan
status-quo atau otonomi yang telah dipasang oleh pihak pemerintah RI dan DPR
RI.

Jadi, bagaimana bisa kita menyandarkan pada tali pegangan yang berupa
”wewenang yang bisa kita ambil, tetap kita ambil”, atau dengan kata lain
”hak rakyat Acheh menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang
dipilih untuk mengikuti pemilihan di Acheh pada bulan April 2006 dan
selanjutnya” (MoU 1.2.2) dapat dijalankan sesuai dengan apa yang telah
disepakati dalam MoU Helsinki, apabila UU No.11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Acheh yang dijadikan fondasi hukumnya menyimpang dan keluar
dari MoU Helsinki?.

Justru dengan orang tersebut diatas menyandarkan pada hasil pikirannya itu,
maka bukan status-quo atau otonomi yang bisa dirobohkan dan digantikan
dengan Self-Government dalam perjuangannya dari tempat duduk kursi model
kepala dan wakil kepala dearah, melainkan sebaliknya, makin tenggelam dan
terjerumus kedalam jurang status-quo atau otonomi.

Karena itu, orang-orang yang telah dijerat oleh jaring UU No.11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Acheh yang belum direvisi karena bertentangan dengan
MoU Helsinki melalui pencalonan model ”gub dan wagubnya-DPR RI”, seperti
dari jalur independen pasangan Mahyuddin bin Mahmud Adan dan Ir Amir Hamzah,
Djali Yusuf dan Syaukas Rahmatillah, Ghazali Abbas Adan dan Shalahuddin
Al-Fata, Ibrahim Hasyim dan Cut Idawani, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar,
Teuku Syahril dan Abdullah Murthada, juga Malek Raden-Sayed Fuad Zakaria
(Partai Golkar), Azwar Abubakar-Nasir Jamil (PAN-PKS), Humam Hamid-Hasbi
Abdullah (PPP), Iskandar Husen-Saleh Manaf (PBB) dan Tamlicha Ali-Nova
Iriansyah (PBR, Demokrat) adalah orang-orang itu semuanya masuk dalam
golongan dan kelompok pro-status-quo atau otonomi, bukan kelompok atau
golongan Self-Government sebagaimana yang telah disepakati oleh pihak GAM
dan pemerintah RI dalam MoU Helsinki.

Selanjutnya, yang paling celaka adalah orang-orang tersebut diatas secara
langsung mengakui dan menerima secara hukum bahwa UU No.11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Acheh yang belum direvisi karena bertentangan dengan
MoU Helsinki sebagai dasar acuan perjuangan mereka di Acheh. Kalaupun ada
diantara orang-orang tersebut, misalnya Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar
yang menganggap diri mereka berdua bisa memperjuangkan peng-revisian UU
No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh yang menyimpang dan bertentangan
dengan MoU Helsinki dari atas kursi kekuasaan kepala dan wakil kepala daerah
model UU No.11 tahun 2006 ciptaan DPR RI, maka anggapan mereka berdua itu
hanyalah anggapan yang hanya sampai sebatas tenggorokannya saja. Mengapa ?

Karena mereka berdua sampai kiamat tidak akan mampu merobah dan melakukan
peng-revisian UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Acheh yang
bertentangan dengan MoU Helsinki dari atas kursi singgasana kepala dan wakil
kepala daerah model UU No.11 tahun 2006 ciptaan DPR RI itu.

Jadi kesimpulannya adalah apa yang telah dinyatakan oleh sebagian besar
rakyat Acheh yang dituliskan dalam spanduk yang berbunyi ”Revisi UUPA yang
tidak sesuai MoU sebelum terbentuk Pemerintah Sendiri” pada hari peringatan
setahun perdamaian dengan MoU Helsinki-nya pada tanggal 15 Agustus 2006 di
Banda Acheh adalah perlu dijalankan dan dilaksanakan oleh pemerintah RI dan
DPR RI, karena kalau tidak sebaiknya pilkapa di Acheh diboikot oleh seluruh
rakyat Acheh.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada
[EMAIL PROTECTED] agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu
untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang
Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel
di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Pageviews last month