Tuesday, February 3, 2009

UU NOMOR 11 TAHUN 2006

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2006
TENTANG
PEMERINTAHAN ACEH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan Undang-Undang;
b. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia,
Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah
perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya
juang tinggi;
c. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari
pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan
budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan
perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu
dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik;
e. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh
telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia
untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh;
Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B,
dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi
Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1103);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3893);
4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 525, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4054);
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4277);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4548);
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN ACEH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
dipimpin oleh seorang Gubernur.
3. Kabupaten/kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat
hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
dipimpin oleh seorang bupati/walikota.
4. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
5. Pemerintahan kabupaten/kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
6. Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Pemerintah Aceh adalah unsur
penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubernur dan perangkat daerah
Aceh.
7. Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses demokratis
yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
8. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut pemerintah kabupaten/kota
adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas
bupati/walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota.
9. Bupati/walikota adalah kepala pemerintah daerah kabupaten/kota yang dipilih melalui
suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
10. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA) adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut Dewan
Perwakilan Rakyat kabupaten/kota (DPRK) adalah unsur penyelenggara pemerintahan
daerah kabupaten/kota yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
12. Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP
kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum
Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
13. Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara
Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui
pemilihan umum.
14. Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
15. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota adalah pengadilan
selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang
merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.
16. Majelis Permusyawaratan Ulama yang selanjutnya disingkat MPU adalah majelis yang
anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja
Pemerintah Aceh dan DPRA.
17. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu
masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya.
18. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.
19. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas
gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin
oleh imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.
20. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah
mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan
urusan rumah tangga sendiri.
21. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
22. Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah
kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan
masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
23. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan
Daerah Provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.
24. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang ditetapkan dengan qanun
kabupaten/kota.
BAB II
PEMBAGIAN DAERAH ACEH DAN KAWASAN KHUSUS
Pasal 2
(1) Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota.
(2) Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan.
(3) Kecamatan dibagi atas mukim.
(4) Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong.
Pasal 3
Daerah Aceh mempunyai batas-batas:
a. sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka;
b. sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara;
c. sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan
d. sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Pasal 4
(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh dan/atau kabupaten/kota untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus.
(2) Dalam pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah
wajib mengikutsertakan Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
(3) Pemerintah Aceh bersama pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan kawasan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapat persetujuan
DPRA/DPRK.
(4) Kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas diatur dengan
undang-undang.
(5) Kawasan khusus selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pembagian
kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Aceh/kabupaten/ kota dan badan
pengelola kawasan khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
Pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB III
KAWASAN PERKOTAAN
Pasal 6
(1) Kawasan perkotaan dapat berbentuk:
a. kota sebagai daerah otonom;
b. bagian kabupaten yang memiliki ciri perkotaan; dan
c. bagian dari dua atau lebih kabupaten/kota yang berbatasan langsung dan memiliki
ciri perkotaan.
(2) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelola oleh
pemerintah kota.
(3) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelola oleh
pemerintah kabupaten.
(4) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikelola
bersama oleh pemerintah kabupaten/kota terkait.
(5) Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk badan pengelolaan pembangunan di
kawasan gampong yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan.
(6) Pemerintah kabupaten/kota mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan,
pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kawasan perkotaan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan qanun.
BAB IV
KEWENANGAN PEMERINTAHAN ACEH DAN
KABUPATEN/KOTA
Pasal 7
(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan
pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
a. melaksanakan sendiri;
b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota;
c. melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi
Pemerintah; dan
d. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pasal 8
(1) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh
yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
(2) Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
DPRA.
(3) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan
dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 9
(1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar
negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya,
dan olah raga internasional.
(3) Dalam hal diadakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam naskah
kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Presiden.
Pasal 10
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga, badan,
dan/atau komisi menurut Undang-Undang ini dengan persetujuan DPRA/DPRK kecuali
yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga, badan dan/atau komisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun.
BAB V
URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 11
(1) Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota.
(2) Norma, standar, dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Dalam menyelenggarakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dapat:
a. melaksanakan sendiri; dan/atau
b. melimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah untuk melaksanakan
pengawasan terhadap kabupaten/kota.
Pasal 12
(1) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali yang menjadi kewenangan
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dan
diurus sendiri oleh Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota.
Pasal 13
(1) Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.
(2) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi
oleh Pemerintah.
Pasal 14
(1) Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, baik pada Pemerintahan di Aceh
maupun pemerintahan di kabupaten/kota dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antarpemerintahan di Aceh.
(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilakukan dengan
berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap, dan
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 15
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota disertai pendanaan, pengalihan sarana, dan prasarana serta
kepegawaian yang dilakukan sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai pendanaan yang
dilakukan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
(3) Urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Aceh, pemerintah
kabupaten/kota, dan gampong disertai pendanaan yang dilakukan sesuai dengan asas
tugas pembantuan.
Pasal 16
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) merupakan urusan dalam skala Aceh yang meliputi:
a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan lintas
kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; dan
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lain yang belum dapat dilaksanakan oleh
pemerintahan kabupaten/kota.
(2) Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan
pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam
bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat
beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal
sesuai dengan syari’at Islam;
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan
e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Urusan Pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Aceh.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Pasal 17
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota merupakan
urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j. pengendalian dan pengawasan lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; dan
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk penyelenggaraan pelayanan
dasar lainnya.
(2) Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan kabupaten/kota
adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam
bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat
beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal
sesuai dengan syari’at Islam; dan
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota.
(3) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
termasuk pemulihan psikososial sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dalam qanun kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, pemerintah kabupaten/kota
mempunyai kewenangan menyelenggarakan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah
tsanawiyah dengan tetap mengikuti standar nasional pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Pemerintah kabupaten/kota berwenang mengelola pelabuhan dan bandar udara umum.
(2) Pelabuhan dan bandar udara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelabuhan dan bandar udara umum yang dikelola oleh Pemerintah sebelum Undang-
Undang ini diundangkan.
(3) Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam
pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh badan usaha
milik daerah.
BAB VI
ASAS SERTA BENTUK DAN SUSUNAN
PENYELENGGARA PEMERINTAHAN
Pasal 20
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada
asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas:
a. asas ke-Islaman;
b. asas kepastian hukum;
c. asas kepentingan umum;
d. asas tertib penyelenggaraan pemerintahan;
e. asas keterbukaan;
f. asas proporsionalitas;
g. asas profesionalitas;
h. asas akuntabilitas;
i. asas efisiensi;
j. asas efektivitas; dan
k. asas kesetaraan.
Pasal 21
(1) Penyelenggara Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh dan DPRA.
(2) Penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota terdiri atas pemerintah kabupaten/kota
dan DPRK.
(3) Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota diatur lebih
lanjut dalam qanun.
BAB VII
DPRA DAN DPRK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 22
(1) DPRA dan DPRK mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
(2) DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk membentuk alat kelengkapan DPRA/DPRK
sesuai dengan kekhususan Aceh.
(3) Jumlah anggota DPRA paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang
ditetapkan undang-undang.
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 23
(1) DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat
persetujuan bersama;
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan
perundang-undangan lain;
c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam
melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama
internasional;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
e. memberitahukan kepada Gubernur dan KIP tentang akan berakhirnya masa jabatan
Gubernur/Wakil Gubernur;
f. memilih Wakil Gubernur dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Gubernur;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan
oleh Pemerintah Aceh;
h. memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama internasional yang dibuat
oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Aceh;
i. memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan
Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh;
j. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan/atau dengan
pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
k. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam
penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan;
l. mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan; dan
m. melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan penggunaan anggaran
kepada KIP Aceh dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(2) DPRA melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
(3) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
kewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan tata tertib
DPRA dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
(1) DPRK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. membentuk qanun kabupaten/kota yang dibahas dengan bupati/walikota untuk
mendapat persetujuan bersama;
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan qanun kabupaten/kota dan
peraturan perundang-undangan lain;
c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam
melaksanakan program pembangunan kabupaten/kota, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lain, serta penanaman modal dan kerja sama
internasional;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur;
e. memberitahukan kepada bupati/walikota dan KIP kabupaten/kota mengenai akan
berakhirnya masa jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
f. memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadinya kekosongan jabatan wakil
bupati/wakil walikota;
g. memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan kepada pemerintah
kabupaten/kota terhadap rencana kerja sama internasional di kabupaten/kota yang
bersangkutan;
h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerja sama
antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan
kabupaten/kota;
i. mengusulkan pembentukan KIP kabupaten/kota dan membentuk Panitia Pengawas
Pemilihan;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan penggunaan anggaran
kepada KIP kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati
dan walikota/wakil walikota; dan
k. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam
penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan.
(2) DPRK melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
(3) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
kewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan tata tertib
DPRK dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Hak, Kewajiban, dan Kode Etik
Pasal 25
(1) DPRA/DPRK mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket;
c. mengajukan pernyataan pendapat;
d. mengajukan rancangan qanun;
e. mengadakan perubahan atas rancangan qanun;
f. membahas dan menyetujui rancangan qanun tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh dan kabupaten/kota dengan Gubernur dan/atau bupati/walikota;
g. menyusun rencana anggaran belanja sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang
DPRA/DPRK sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja kabupaten/kota dengan menggunakan standar
harga yang disepakati Gubernur dengan DPRA dan bupati/walikota dengan DPRK,
yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan Peraturan bupati/walikota;
h. menggunakan anggaran sebagaimana telah ditetapkan dalam APBA/APBK dan
diadministrasikan oleh sekretaris dewan sesuai dengan peraturan perundangundangan;
dan
i. menyusun dan menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik Anggota
DPRA/DPRK.
(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah
diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan
mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPRA/DPRK yang dihadiri sekurangkurangnya
3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan yang
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota
DPRA/DPRK yang hadir.
(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia
angket yang terdiri atas unsur DPRA/DPRK yang bekerja dalam waktu paling lama 60
(enam puluh) hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRA/ DPRK.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui
atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki, serta meminta menunjukkan
surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut
peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal seseorang telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi
panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket memanggil secara
paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.
(8) Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, huruf e dan huruf f diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.
(9) Peraturan tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Anggota DPRA/DPRK mempunyai hak:
a. mengajukan usul rancangan qanun;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. protokoler;
e. keuangan dan administratif;
f. memilih dan dipilih;
g. membela diri; dan
h. imunitas.
(2) Anggota DPRA/DPRK mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
b. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota;
c. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
d. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan
masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;
e. menaati peraturan tata tertib, kode etik, dan sumpah/janji anggota DPRA/DPRK;
f. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan;
g. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota
DPRA/DPRK sebagai wujud tanggung jawab moral dan politik terhadap daerah
pemilihannya; dan
h. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 27
(1) DPRA/DPRK wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan
anggota DPRA/DPRK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. pengertian kode etik;
b. tujuan kode etik;
c. pengaturan sikap, tata kerja dan hubungan antarpenyelenggara pemerintahan
daerah dan antaranggota serta antara anggota DPRA/DPRK serta pihak lain;
d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRA/DPRK;
e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, dan sanggahan; dan
f. sanksi dan rehabilitasi.
Bagian Keempat
Penyidikan dan Penuntutan
Pasal 28
(1) Anggota DPRA/DPRK tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam
rapat DPRA/DPRK sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan
Kode Etik DPRA/DPRK.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang
bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk
dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman
rahasia negara dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Anggota DPRA/DPRK tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan dan/atau
pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRA/DPRK.
Pasal 29
(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRA dilaksanakan setelah dikeluarkannya
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden atau persetujuan
Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRK.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan
dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya permohonan, proses
penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis
dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(5) Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan penyidikan
harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.
Bagian Kelima
Alat Kelengkapan DPRA/DPRK
Pasal 30
(1) Alat kelengkapan DPRA/DPRK terdiri atas:
a. pimpinan;
b. komisi;
c. panitia musyawarah;
d. panitia anggaran;
e. badan kehormatan;
f. panitia legislasi; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan.
(2) Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.
Pasal 31
(1) DPRA dapat membentuk paling sedikit 5 (lima) komisi dan paling banyak 8 (delapan)
komisi.
(2) DPRK yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 34 (tiga puluh empat) orang
membentuk 4 (empat) komisi, dan yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang atau
lebih membentuk 5 (lima) komisi.
Pasal 32
(1) Badan Kehormatan DPRA/DPRK dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan
DPRA/DPRK.
(2) Anggota Badan Kehormatan DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas anggota DPRA/DPRK dengan ketentuan:
a. untuk DPRA berjumlah 5 (lima) orang; dan
b. untuk DPRK yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga puluh empat) orang
berjumlah 3 (tiga) orang dan untuk DPRK yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima)
orang atau lebih berjumlah 5 (lima) orang.
(3) Anggota Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh
DPRA/DPRK.
(4) Pimpinan Badan Kehormatan DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan
Kehormatan.
(5) Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu sekretariat yang
secara fungsional dilaksanakan oleh Sekretariat DPRA/DPRK.
(6) Pelaksanaan ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.
Pasal 33
(1) Badan Kehormatan mempunyai tugas:
a. mengamati dan mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPRA/DPRK
dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan kode etik DPRA/
DPRK;
b. meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRA/DPRK terhadap
Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRA/DPRK serta sumpah/janji;
c. melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan dan
anggota DPRA/DPRK, masyarakat dan/atau pemilih; dan
d. menyampaikan simpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi
sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh
DPRA/DPRK.
(2) Mekanisme kerja Badan Kehormatan disusun oleh Badan Kehormatan dan disetujui oleh
pimpinan DPRA/DPRK.
Pasal 34
(1) Panitia Legislasi berkedudukan sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun.
(2) Panitia Legislasi pada DPRA dibentuk oleh DPRA dan Panitia Legislasi pada DPRK
dibentuk oleh DPRK.
(3) Panitia Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat tetap.
Pasal 35
Tugas Panitia Legislasi sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun adalah:
a. menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan qanun untuk
1 (satu) masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang selanjutnya
dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan keputusan DPRA/DPRK;
b. menyiapkan rancangan qanun usul inisiatif DPRA/DPRK berdasarkan program prioritas
yang telah ditetapkan;
c. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan
qanun yang diajukan anggota, komisi, dan gabungan komisi sebelum rancangan qanun
tersebut disampaikan kepada pimpinan dewan;
d. memberikan pertimbangan terhadap pengajuan rancangan qanun yang diajukan oleh
anggota, komisi, dan gabungan komisi di luar rancangan qanun yang terdaftar dalam
program legislasi daerah atau prioritas rancangan qanun tahun berjalan;
e. melakukan pembahasan dan perubahan/penyempurnaan rancangan qanun yang secara
khusus ditugaskan Panitia Musyawarah;
f. melakukan penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan qanun yang sedang
dan/atau yang akan dibahas dan sosialisasi rancangan qanun yang telah disahkan;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi qanun melalui
koordinasi dengan komisi;
h. menerima masukan dari masyarakat baik tertulis maupun lisan mengenai rancangan
qanun;
i. memberikan pertimbangan terhadap rancangan qanun yang sedang dibahas oleh
Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK; dan
j. menginventarisasi masalah hukum dan peraturan perundang-undangan pada akhir
masa keanggotaan DPRA/DPRK untuk dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia
Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
Bagian Keenam
Fraksi
Pasal 36
(1) Setiap anggota DPRA/DPRK wajib berhimpun dalam fraksi.
(2) Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
sama dengan jumlah minimal komisi di DPRA/DPRK.
(3) Anggota DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari partai politik/partai
politik lokal yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi, wajib
bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(4) Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRA/DPRK dari partai politik/partai politik
lokal lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal telah dibentuk fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi
gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi lain dan/atau fraksi gabungan lain
yang memenuhi syarat.
(6) Partai politik/partai politik lokal yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi
hanya dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(7) Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik/partai politik lokal dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).
Bagian Ketujuh
Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRA/DPRK
Pasal 37
(1) Anggota DPRA/DPRK dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara;
b. hakim pada badan peradilan;
c. Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, dan/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari
APBN/APBA/APBK.
(2) Anggota DPRA/DPRK dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada
lembaga pendidikan negeri dan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara,
notaris, dokter praktik, jurnalis, dan pengelola media massa serta pekerjaan lain yang
berhubungan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPRA/DPRK.
(3) Anggota DPRA/DPRK dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
(4) Anggota DPRA/DPRK yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi anggota DPRA/DPRK.
(5) Anggota DPRA/DPRK yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diusulkan pemberhentiannya berdasarkan hasil pemeriksaan Badan
Kehormatan DPRA/DPRK.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK yang berpedoman
pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
(1) Anggota DPRA/DPRK berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:
a. meninggal dunia; atau
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis.
(2) Anggota DPRA/DPRK diberhentikan antarwaktu karena:
a. diusulkan oleh partai politik/partai politik lokal yang bersangkutan;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRA/DPRK;
d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau melanggar kode etik DPRA/
DPRK;
e. tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRA/DPRK;
f. melanggar larangan bagi anggota DPRA/DPRK; atau
g. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih.
(3) Pemberhentian anggota DPRA/DPRK yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), disampaikan oleh pimpinan DPRA kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur bagi anggota DPRA atau oleh pimpinan DPRK kepada
Gubernur melalui bupati/walikota bagi anggota DPRK untuk diresmikan
pemberhentiannya.
(4) Pemberhentian anggota DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan setelah ada keputusan DPRA/DPRK
berdasarkan rekomendasi dari Badan Kehormatan DPRA/DPRK.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PEMERINTAH ACEH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 39
(1) Pemerintah Aceh dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai Kepala Pemerintah Aceh dan
dibantu oleh seorang Wakil Gubernur.
(2) Gubernur dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat daerah Aceh.
(3) Gubernur bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah Aceh pada semua
sektor pemerintahan termasuk pelayanan masyarakat dan ketenteraman serta ketertiban
masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Qanun Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah.
(2) Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 41
(1) Pemerintah kabupaten/kota dipimpin oleh seorang bupati/walikota sebagai kepala
pemerintah kabupaten/kota dan dibantu oleh seorang wakil bupati/wakil walikota.
(2) Bupati/walikota dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat kabupaten/kota.
(3) Bupati/walikota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan pemerintah
kabupaten/kota di semua sektor pelayanan publik termasuk ketenteraman dan ketertiban
masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam
qanun kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 42
(1) Gubernur atau bupati/walikota mempunyai tugas dan wewenang:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama antara Gubernur dan DPRA atau bupati/walikota dan DPRK;
b. mengajukan rancangan qanun;
c. menetapkan qanun yang telah mendapat persetujuan bersama antara Gubernur dan
DPRA, atau bupati/walikota dan DPRK;
d. menyusun dan mengajukan rancangan qanun tentang APBA kepada DPRA dan
APBK kepada DPRK untuk dibahas, disetujui, dan ditetapkan bersama;
e. melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari’at Islam secara
menyeluruh;
f. memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan
pemerintahan kepada DPRA atau DPRK;
g. memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh kepada Pemerintah;
h. memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah;
i. menyampaikan informasi penyelenggaraan Pemerintahan Aceh/ kabupaten/kota
kepada masyarakat;
j. mengupayakan terlaksananya kewenangan pemerintahan;
k. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menguasakan
kepada pihak lain sebagai kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
l. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(2) Gubernur melakukan konsultasi dan memberikan pertimbangan terhadap kebijakan
administratif yang ditetapkan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Aceh
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 43
(1) Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, memiliki tugas dan wewenang mengoordinasikan:
a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota;
b. penyelenggaraan urusan Pemerintahan di Aceh dan kabupaten/kota;
c. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di Aceh dan
kabupaten/kota;
d. pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan dan keistimewaan Aceh; dan
e. pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan antarkabupaten/kota di
Aceh.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
sebagai wakil Pemerintah dapat menugaskan perangkat daerah Aceh.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Gubernur berhak untuk memberikan penghargaan dan/atau sanksi administratif kepada
bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pendanaan untuk pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibebankan kepada APBN.
(5) Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 44
(1) Wakil Gubernur mempunyai tugas membantu Gubernur dalam:
a. penyelenggaraan pemerintahan;
b. pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at Islam;
c. penindaklanjutan laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparatur pengawasan;
d. pemberdayaan perempuan dan pemuda;
e. pemberdayaan adat;
f. pengupayaan pengembangan kebudayaan;
g. pelestarian lingkungan hidup;
h. pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota;
i. pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur apabila Gubernur berhalangan; dan
j. pelaksanaan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh
Gubernur.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Gubernur
bertanggung jawab kepada Gubernur.
(3) Wakil Gubernur menggantikan Gubernur sampai habis masa jabatannya apabila
Gubernur meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajiban selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.
Pasal 45
(1) Wakil bupati/wakil walikota mempunyai tugas membantu bupati/walikota dalam:
a. penyelenggaraan pemerintahan;
b. pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at Islam;
c. penindaklanjutan laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparatur pengawasan;
d. pemberdayaan perempuan dan pemuda;
e. pemberdayaan adat;
f. pengupayaan pengembangan kebudayaan;
g. pelestarian lingkungan hidup;
h. pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan kecamatan, mukim, dan
gampong;
i. pelaksanaan tugas dan wewenang bupati/walikota apabila bupati/walikota
berhalangan; dan
j. pelaksanaan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh
bupati/walikota.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil bupati/walikota
bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
(3) Wakil bupati/walikota menggantikan bupati/walikota sampai habis masa jabatannya
apabila bupati/walikota meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa
jabatannya.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Larangan
Pasal 46
(1) Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan
Pasal 45 mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mempertahankan kedaulatan, dan
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. menjalankan syari’at agamanya;
c. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
d. memelihara ketenteraman umum dan ketertiban masyarakat;
e. melaksanakan kehidupan demokrasi;
f. melaksanakan prinsip dan tata pemerintahan yang bersih, baik, bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme;
g. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan Aceh dan
kabupaten/kota secara transparan;
h. menyampaikan rencana penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota di hadapan paripurna DPRA/DPRK; dan
i. menjalin hubungan kerja dengan instansi pemerintah.
(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur dan
bupati/walikota mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota kepada Pemerintah, memberikan
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRA/DPRK, dan menginformasikan
laporan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota
kepada masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan qanun yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 47
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota
keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politik yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan
sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan
masyarakat lain;
b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik negara, milik swasta maupun milik
pemerintah Aceh, atau dalam yayasan bidang apa pun;
c. melakukan pekerjaan lain yang berhubungan dengan jabatan yang memberikan
keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung;
d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang, dan/atau jasa dari
pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;
e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf k.
f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatan; dan
g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPRA sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pemberhentian
Pasal 48
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota
berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru.
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil
bupati, serta walikota dan wakil walikota;
d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati
dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota;
e. tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil
bupati, serta walikota dan wakil walikota; atau
f. melanggar larangan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati,
serta walikota dan wakil walikota.
(3) Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota
dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat
(2) huruf a dan huruf b, diberitahukan oleh pimpinan DPRA/DPRK untuk diputuskan
dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRA/DPRK.
(4) Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota
dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e
dilaksanakan dengan ketentuan:
a. pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota
dan wakil walikota diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah
Agung atas pendapat DPRA/DPRK, bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati
dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan Wakil
Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota;
b. Pendapat DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui
Rapat Paripurna DPRA/DPRK yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per
empat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRA/DPRK yang hadir;
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat
DPRA/DPRK paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRA/DPRK itu
diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final;
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur,
bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota terbukti melanggar
sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRA/DPRK
menyelenggarakan rapat paripurna DPRA/ DPRK yang dihadiri oleh sekurangkurangnya
3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah
anggota DPRA/DPRK yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Gubernur
dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota
kepada Presiden; dan
e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, bupati
dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak DPRA/DPRK menyampaikan usul.
Pasal 49
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil
walikota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/DPRK,
apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota
diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/DPRK, apabila terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 50
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota
diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/DPRK karena
didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau
tindak pidana terhadap keamanan negara.
(2) Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil
walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRA/ DPRK karena terbukti
melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak
pidana terhadap keamanan negara dan/atau tindak pidana lain yang dinyatakan dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 51
(1) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan
wakil walikota menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan
melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRA/DPRK
menggunakan hak angket untuk menanggapinya.
(2) Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah
mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRA/DPRK yang dihadiri oleh sekurangkurangnya
3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan diambil
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota
DPRA/DPRK yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur dan Wakil
Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.
(3) Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), DPRA/DPRK menyerahkan proses penyelesaian kepada aparat penegak hukum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil
walikota dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
DPRA/DPRK mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRA/DPRK.
(5) Berdasarkan keputusan DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden
menetapkan pemberhentian sementara Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil
bupati, serta walikota dan wakil walikota.
(6) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil
walikota dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRA/DPRK
mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRA/DPRK dan
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK
dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari
jumlah anggota DPRA/DPRK yang hadir.
(7) Berdasarkan keputusan DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden
memberhentikan Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota
dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 52
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota
yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal
50 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan
mengaktifkan kembali Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta
walikota dan wakil walikota yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya.
(2) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil
walikota yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
berakhir masa jabatannya, Presiden merehabilitasikan Gubernur dan Wakil Gubernur,
bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang bersangkutan dan tidak
mengaktifkannya kembali.
Pasal 53
(1) Apabila Gubernur/bupati/walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (5), Wakil Gubernur/wakil
bupati/wakil walikota melaksanakan tugas dan kewajiban Gubernur/bupati/walikota
sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2) Apabila Wakil Gubernur/wakil bupati/wakil walikota diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), dan Pasal 51 ayat
(5), tugas dan kewajiban Wakil Gubernur/wakil bupati/wakil walikota dilaksanakan oleh
Gubernur/bupati/walikota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3) Apabila Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat
(1), dan Pasal 51 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat Gubernur/bupati/walikota
dengan pertimbangan DPRA melalui Menteri Dalam Negeri dan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota dengan pertimbangan DPRK melalui Gubernur sampai dengan
adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4) Tata cara penetapan, kriteria calon, dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
(1) Apabila Gubernur/bupati/walikota diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(2), Pasal 50 ayat (2), dan Pasal 51 ayat (7), jabatan kepala daerah diganti oleh Wakil
Gubernur/wakil bupati/wakil walikota sampai berakhir masa jabatannya dan proses
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRA atau DPRK
dan disahkan oleh Presiden.
(2) Apabila Gubernur/bupati/walikota berhenti karena meninggal dunia, Presiden
menetapkan dan mengesahkan Wakil Gubernur/wakil bupati/wakil walikota untuk
mengisi jabatan kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya.
(3) Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur/wakil bupati/wakil walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan
belas) bulan, Gubernur/bupati/walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil
Gubernur/wakil bupati/wakil walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRA atau
DPRK berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik, atau partai politik lokal
atau gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal
yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
(4) Dalam hal Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota
berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat
Paripurna DPRA atau DPRK memutuskan dan menugaskan KIP untuk
menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya
penjabat Gubernur/bupati/walikota.
(5) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati,
dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sekretaris Daerah
Aceh dan sekretaris daerah kabupaten/kota melaksanakan tugas sehari-hari
Gubernur/bupati/ walikota sampai dengan Presiden mengangkat penjabat Gubernur/
bupati/walikota.
(6) Tata cara pengisian kekosongan, persyaratan, dan masa jabatan penjabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Penyelidikan dan Penyidikan
Pasal 55
(1) Penyelidikan dan penyidikan terhadap Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati,
dan walikota/wakil walikota dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari
Presiden atas permintaan penyidik.
(2) Apabila persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh
Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya
permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
(3) Penyidikan yang dilanjutkan dengan tindakan penahanan diperlukan persetujuan tertulis
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib dilaporkan kepada
Presiden paling lambat dalam waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.
BAB IX
PENYELENGGARA PEMILIHAN
Bagian Kesatu
Komisi Independen Pemilihan
Pasal 56
(1) KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, dan pemilihan
gubernur/wakil gubernur.
(2) KIP kabupaten/kota menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA,
DPRK, dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota.
(3) Dalam hal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
KIP kabupaten/kota merupakan bagian dari penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur.
(4) Anggota KIP Aceh diusulkan oleh DPRA dan ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh
Gubernur.
(5) Anggota KIP kabupaten/kota diusulkan oleh DPRK ditetapkan oleh KPU dan diresmikan
oleh bupati/walikota.
(6) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5),
DPRA/DPRK membentuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan
penjaringan dan penyaringan calon anggota KIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, mekanisme kerja, dan masa
kerja tim independen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan qanun.
Pasal 57
(1) Anggota KIP Aceh berjumlah 7 (tujuh) orang dan anggota KIP kabupaten/kota berjumlah
5 (lima) orang yang berasal dari unsur masyarakat.
(2) Masa kerja anggota KIP adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Bagian Kedua
Tugas, Wewenang, dan Kewajiban
Pasal 58
(1) Tugas dan wewenang KIP:
a. merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
b. menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil
bupati, dan walikota/wakil walikota;
c. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahap
pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota;
d. menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
e. menerima pendaftaran pasangan calon sebagai peserta pemilihan;
f. meneliti persyaratan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota yang diusulkan;
g. menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;
h. menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;
i. melakukan audit dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
j. menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota melalui
rapat pleno;
k. melakukan evaluasi dan memberikan laporan kepada DPRA/DPRK terhadap
pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota; dan
l. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
(2) Untuk membantu KIP dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk Sekretariat KIP sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pasal 59
KIP berkewajiban:
a. memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/ wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. menyampaikan laporan setiap tahap pelaksanaan pemilihan kepada DPRA untuk KIP
Aceh dan DPRK untuk KIP kabupaten/kota dan menyampaikan informasi kegiatannya
kepada masyarakat;
d. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang inventaris KIP
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada Gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
f. melaksanakan semua tahap pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati,
dan walikota/wakil walikota secara tepat waktu.
Bagian Ketiga
Panitia Pengawas Pemilihan
Pasal 60
(1) Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panitia pengawas
tingkat nasional dan bersifat ad hoc.
(2) Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan setelah Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK.
(4) Masa kerja Panitia Pengawas Pemilihan berakhir 3 (tiga) bulan setelah pelantikan
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
Bagian Keempat
Tugas dan Wewenang Panitia Pengawas Pemilihan
Pasal 61
(1) Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan:
a. melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; dan
b. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 62
Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
dilakukan melalui:
a. pengawasan semua tahap penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
b. penyelesaian sengketa yang timbul dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
c. penerusan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang
berwenang; dan
d. pengaturan hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan.
Pasal 63
Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang ini mengenai pengawasan pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/ wakil walikota berpedoman
kepada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Pemantauan
Pasal 64
(1) Pemantauan pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota dapat dilakukan oleh pemantau lokal, pemantau nasional dan
pemantau asing.
(2) Pemantau pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. bersifat independen; dan
b. mempunyai sumber dana yang jelas.
(3) Pemantau asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Pemantau pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), harus terdaftar di KIP
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB X
PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR,
BUPATI/WAKIL BUPATI, DAN WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 65
(1) Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui
pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
(2) Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota memegang
jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya
untuk satu kali masa jabatan.
(3) Biaya untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBA.
(4) Biaya untuk pemilihan bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dibebankan pada
APBK dan APBA.
Bagian Kedua
Tahapan Pemilihan
Pasal 66
(1) Tahapan dan jadwal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota ditetapkan oleh KIP.
(2) Proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota dilakukan melalui tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan pemilihan, serta
pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan.
(3) Tahap persiapan pemilihan meliputi:
a. pembentukan dan pengesahan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota;
b. pemberitahuan DPRA kepada KIP Aceh mengenai berakhirnya masa jabatan
Gubernur/Wakil Gubernur;
c. pemberitahuan DPRK kepada KIP kabupaten/kota mengenai berakhirnya masa
jabatan bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
d. perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan
pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/ wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota;
e. pembentukan Panitia Pengawas, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan
Gampong, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara; dan
f. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.
(4) Tahap pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. pendaftaran dan penetapan daftar pemilih;
b. pendaftaran dan penetapan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota;
c. kampanye;
d. pemungutan suara;
e. penghitungan suara; dan
f. penetapan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota terpilih, pengesahan dan pelantikan.
(5) Pendaftaran dan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, meliputi:
a. pemeriksaan administrasi pasangan bakal calon oleh KIP;
b. penetapan pasangan calon oleh KIP; dan
c. pemaparan visi dan misi pasangan calon dalam rapat paripurna istimewa
DPRA/DPRK.
(6) Tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), aayt
(3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh KIP dengan berpedoman pada qanun.
Bagian Ketiga
Pencalonan
Pasal 67
(1) Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh :
a. partai politik atau gabungan partai politik;
b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal;
c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau
d. perseorangan.
(2) Calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. menjalankan syari’at agamanya;
c. taat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau yang
sederajat;
e. berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
f. sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam
dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau
politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
k. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
l. tidak dalam status sebagai penjabat Gubernur/bupati/walikota; dan
m. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.
Pasal 68
(1) Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), calon
perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari
jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari
jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan 50% (lima puluh
persen) dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil
walikota.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan identitas bukti diri dan
disertai dengan pernyataan tertulis.
Pasal 69
Tahap pengesahan dan pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih meliputi:
a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP Aceh kepada DPRA dan untuk selanjutnya
diteruskan kepada Presiden;
b. pengesahan Gubernur/Wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden; dan
c. pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Gubernur/Wakil Gubernur dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia di hadapan Ketua
Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam rapat paripurna DPRA.
Pasal 70
Tahapan pengesahan dan pelantikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota terpilih
meliputi:
a. penyerahan hasil pemilihan oleh KIP kabupaten/kota kepada DPRK dan untuk
selanjutnya diteruskan kepada Gubernur;
b. pengesahan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota terpilih dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden; dan
c. pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil
walikota dilakukan oleh Gubernur atas nama Presiden Republik Indonesia di hadapan
Ketua Mahkamah Syar’iyah dalam rapat paripurna DPRK.
Bagian Keempat
Pemilih dan Hak Pemilih
Pasal 71
(1) Pemilih untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh atau
kabupaten/kota yang pada tanggal pemungutan suara memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin;
b. tidak sedang terganggu jiwanya;
c. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
d. terdaftar sebagai pemilih.
(2) Warga Negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih, tetapi tidak
lagi memenuhi syarat sebagai dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menggunakan hak
pilihnya.
Pasal 72
Pemilih di Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 mempunyai hak:
a. memilih Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota;
b. mengawasi proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota;
c. mengajukan usulan kebijakan pelaksanaan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota;
d. mengajukan usulan penyempurnaan dan perubahan qanun; dan
e. mengawasi penggunaan anggaran.
Pasal 73
Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal
69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 diatur lebih lanjut dengan qanun dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Penyelesaian Sengketa atas Hasil Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan
Walikota/Wakil Walikota
Pasal 74
(1) Peserta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil
walikota berhak mengajukan keberatan terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan oleh
KIP.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pasangan
calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah
hasil pemilihan ditetapkan.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil perhitungan suara
yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan keberatan.
(5) Mahkamah Agung menyampaikan putusan sengketa hasil penghitungan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada:
a. KIP;
b. pasangan calon;
c. DPRA/DPRK;
d. Gubernur/bupati/walikota; dan
e. partai politik atau gabungan partai politik, partai politik lokal atau gabungan partai
politik lokal, atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang mengajukan
calon.
(6) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) bersifat
final dan mengikat.
BAB XI
PARTAI POLITIK LOKAL
Bagian Kesatu
Pembentukan
Pasal 75
(1) Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal.
(2) Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang
Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan
telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen).
(3) Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didirikan dengan akte notaris
yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta struktur
kepengurusannya.
(4) Kepengurusan partai politik lokal berkedudukan di ibukota Aceh.
(5) Kepengurusan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen).
(6) Partai politik lokal memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda
gambar partai politik atau partai politik lokal lain.
(7) Partai politik lokal mempunyai kantor tetap.
(8) Untuk dapat didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum, selain memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),
dan ayat (7) partai politik lokal harus mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya
50% (lima puluh persen) di kabupaten/kota dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal 76
(1) Partai politik lokal yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 didaftarkan pada dan disahkan sebagai badan hukum oleh kantor wilayah
departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi
manusia, melalui pelimpahan kewenangan dari Menteri yang berwenang.
(2) Pengesahan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam
Berita Negara.
(3) Perubahan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, nama, lambang, tanda gambar,
dan kepengurusan partai politik lokal didaftarkan pada kantor wilayah departemen di
Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Bagian Kedua
Asas, Tujuan, dan Fungsi
Pasal 77
(1) Asas partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi,
agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh.
Pasal 78
(1) Tujuan umum partai politik lokal adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
c. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh.
(2) Tujuan khusus partai politik lokal adalah:
a. meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah; dan
b. memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh.
(3) Tujuan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan
secara konstitusional.
Pasal 79
Partai politik lokal berfungsi sebagai sarana:
a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan rakyat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat; dan
d. partisipasi politik rakyat.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Pasal 80
(1) Partai politik lokal berhak:
a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota;
b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;
c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partai dari
departemen yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia;
d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPRA dan DPRK;
e. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA dan DPRK;
f. mengusulkan pemberhentian anggotanya di DPRA dan DPRK;
g. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di DPRA dan DPRK;
h. mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan
wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh; dan
i. melakukan afiliasi atau kerja sama dalam bentuk lain dengan sesama partai politik
lokal atau partai politik nasional.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f,
huruf g, dan huruf h diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 81
Partai politik lokal berkewajiban:
a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan lain;
b. mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. berpartisipasi dalam pembangunan Aceh dan pembangunan nasional;
d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia;
e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya;
f. menyukseskan pemilihan umum pada tingkat daerah dan nasional;
g. melakukan pendataan dan memelihara data anggota;
h. membuat pembukuan, daftar penyumbang, dan jumlah sumbangan yang diterima, serta
terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah;
i. membuat laporan keuangan secara berkala; dan
j. memiliki rekening khusus dana partai.
Bagian Keempat
Larangan
Pasal 82
(1) Partai politik lokal dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang
sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c. lambang daerah Aceh;
d. nama, bendera, atau lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
e. nama dan gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai
politik atau partai politik lokal lain.
(2) Partai politik lokal dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau peraturan perundang-undangan lain;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. menerima atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
d. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun
tanpa mencantumkan identitas yang jelas;
e. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/ badan usaha
melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau
f. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, badan usaha milik desa, atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi
kemanusiaan.
(3) Partai politik lokal dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu
badan usaha.
(4) Partai politik lokal dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran
komunisme dan marxisme-leninisme.
Bagian Kelima
Keanggotan dan Kedaulatan Anggota
Pasal 83
(1) Warga Negara Republik Indonesia yang berdomisili tetap di Aceh dapat menjadi anggota
partai politik lokal, apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah
kawin.
(2) Keanggotaan partai politik lokal bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif pada
setiap warga negara Republik Indonesia yang berdomisili tetap di Aceh yang menyetujui
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik lokal yang bersangkutan.
(3) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat merangkap keanggotaan
salah satu partai politik.
(4) Keanggotaan, kedaulatan anggota, dan kepengurusan partai politik lokal diatur dalam
anggaran dasar dan rumah tangga partai politik lokal.
Bagian Keenam
Keuangan
Pasal 84
(1) Keuangan partai politik lokal bersumber dari:
a. iuran anggota;
b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c. bantuan dari APBA dan APBK.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa uang, barang,
fasilitas, peralatan, dan/atau jasa.
(3) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional
kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan masyarakat Aceh
dan kabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran bantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan qanun.
Pasal 85
Partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b dapat menerima
sumbangan yang berasal dari:
a. anggota dan bukan anggota paling banyak senilai Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.
b. perusahaan dan/atau badan usaha paling banyak senilai Rp. 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.
Bagian Ketujuh
Sanksi
Pasal 86
(1) Setiap orang dan/atau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada partai politik
lokal melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mempengaruhi atau memaksa sehingga seseorang dan/atau
perusahaan/badan usaha memberikan sumbangan kepada partai politik lokal melebihi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 diancam dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
(3) Pengurus partai politik lokal yang:
a. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang
melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 diancam dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
b. melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf d
dan huruf f diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
c. menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 ayat (4) dituntut karena kejahatan terhadap keamanan negara berdasarkan
Pasal 107 huruf c, huruf d, dan huruf e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta
partainya dapat dibubarkan.
(4) Sumbangan yang diterima partai politik lokal dari perseorangan dan/atau
perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 disita untuk negara.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 75 dan Pasal 77 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa penolakan
pendaftaran sebagai partai politik lokal oleh kantor wilayah departemen yang ruang
lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
b. Pasal 81 huruf h, dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh
KIP Aceh.
c. Pasal 81 huruf i dan huruf j, dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan
dari APBA dan APBK.
Pasal 87
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1),
dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran partai politik lokal oleh kantor
wilayah departemen yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi
manusia.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf
a dan huruf b, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara partai politik
lokal paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat kedudukan partai politik lokal.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf
c, huruf d, huruf e dan huruf f, dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka
oleh KIP Aceh.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3),
dikenai sanksi administratif berupa larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan partai politik lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Sebelum dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), pengurus partai politik lokal yang bersangkutan terlebih dahulu
didengar keterangannya.
Pasal 88
(1) Partai politik lokal yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 82 ayat (4), dibubarkan
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
(2) Partai politik lokal yang telah dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2)
dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 ayat (2) huruf a dan huruf b, dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi.
Bagian Kedelapan
Persyaratan Mengikuti Pemilu Anggota DPRA/DPRK, Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
dan Walikota/Wakil Walikota
Pasal 89
(1) Untuk dapat mengikuti pemilihan umum DPRA/DPRK, partai politik lokal harus
memenuhi persyaratan:
a. telah disahkan sebagai badan hukum;
b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua per tiga) dari jumlah
kabupaten/kota di Aceh;
c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua per tiga) dari jumlah
kecamatan dalam setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1/1000 (satu per seribu) dari jumlah penduduk
pada setiap kepengurusan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada huruf c
yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik lokal;
e. pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor
tetap;
f. mengajukan nama dan tanda gambar kepada KIP.
(2) Partai politik lokal yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta pemilu DPRA/DPRK.
(3) KIP Aceh menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan penelitian keabsahan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Penetapan tata cara penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penetapan keabsahan
kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KIP
Aceh dan bersifat final.
Pasal 90
Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik lokal peserta pemilu harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRA; atau
b. memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRK yang tersebar
sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota di Aceh.
Pasal 91
(1) Partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dan
partai politik lokal dapat mengajukan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
(2) Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai
politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mendaftarkan pasangan calon
apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen)
dari jumlah kursi DPRA atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara
sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRA di daerah yang bersangkutan.
(3) Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai
politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2).
(4) Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai
politik lokal, pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik lokal atau
pimpinan partai politik lokal yang bergabung;
b. kesepakatan tertulis antarpartai politik lokal yang bergabung untuk mencalonkan
pasangan calon;
c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang dicalonkan
yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik lokal atau para pimpinan partai
politik lokal yang bergabung;
d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon Gubernur/Wakil
Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota secara berpasangan;
e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih
menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari
Pegawai Negeri Sipil, prajurit Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRA/DPRK tempat yang
bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya;
i. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRA/DPRK
yang mencalonkan diri sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati,
dan walikota/wakil walikota;
j. kelengkapan persyaratan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/ wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2); dan
k. naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
(5) Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai
politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hanya dapat mengusulkan satu
pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai
politik lokal atau gabungan partai politik lokal lain.
(6) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik lokal atau gabungan partai politik
lokal memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
(7) Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengumuman pendaftaran pasangan calon.
Bagian Kesembilan
Pengawasan
Pasal 92
Pengawasan terhadap partai politik lokal meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. melakukan penelitian secara administratif dan substantif terhadap akta pendirian dan
syarat pendirian partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal
77;
b. melakukan pengecekan terhadap kepengurusan partai politik lokal yang tercantum
dalam akta pendirian partai politik dan kepengurusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75;
c. melakukan pengecekan terhadap nama, lambang, dan tanda gambar partai politik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1);
d. menerima laporan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama,
lambang, dan tanda gambar partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (3) dan pergantian atau penggantian kepengurusan partai politik lokal;
e. meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik lokal dan hasil audit laporan
keuangan dana kampanye pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
huruf h, huruf i, dan huruf j; serta
f. melakukan penelitian terhadap kemungkinan dilakukannya pelanggaran terhadap
larangan partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4).
Pasal 93
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dilakukan oleh:
a. Kantor wilayah departemen yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak
asasi manusia dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. Komisi Independen Pemilihan dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 92 huruf e; dan
c. Gubernur selaku wakil pemerintah dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 92 huruf f.
(2) Tindak lanjut pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 94
Pemerintah, Pemerintah Aceh/kabupaten dan kota tidak melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan fungsi dan hak partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan
Pasal 80.
Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai partai politik lokal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
LEMBAGA WALI NANGGROE
Pasal 96
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu
masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi
penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian
gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan
lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.
(3) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta
pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang
menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 97
Wali Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada
perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tata caranya
diatur dengan Qanun Aceh.
BAB XIII
LEMBAGA ADAT
Pasal 98
(1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang
keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
(2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga
adat.
(3) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi:
a. Majelis Adat Aceh;
b. imeum mukim atau nama lain;
c. imeum chik atau nama lain;
d. keuchik atau nama lain;
e. tuha peut atau nama lain;
f. tuha lapan atau nama lain;
g. imeum meunasah atau nama lain;
h. keujreun blang atau nama lain;
i. panglima laot atau nama lain;
j. pawang glee atau nama lain;
k. peutua seuneubok atau nama lain;
l. haria peukan atau nama lain; dan
m. syahbanda atau nama lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat,
pemberdayaan adat, dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 99
(1) Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan
keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’at Islam
dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe.
(2) Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh
lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Qanun Aceh.
BAB XIV
PERANGKAT DAERAH ACEH DAN KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 100
(1) Perangkat daerah Aceh terdiri atas Sekretariat Daerah Aceh, Sekretariat DPRA, Dinas
Aceh, dan lembaga teknis Aceh yang diatur dengan Qanun Aceh.
(2) Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah kabupaten/kota,
sekretariat DPRK, dinas kabupaten/kota, lembaga teknis kabupaten/kota, kecamatan
yang diatur dengan qanun kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Sekretariat Daerah Aceh
Pasal 101
(1) Sekretariat Daerah Aceh dipimpin oleh Sekretaris Daerah Aceh.
(2) Sekretaris Daerah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas, fungsi,
dan wewenang:
a. membantu Gubernur dalam menyusun kebijakan;
b. mengoordinasikan dinas, lembaga, dan badan Provinsi Aceh; dan
c. membina Pegawai Negeri Sipil dalam wilayah Aceh.
(3) Dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Sekretaris Daerah Aceh bertanggung jawab kepada Gubernur.
(4) Dalam hal Sekretaris Daerah Aceh berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas
Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang
Sekretariat Daerah Aceh diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 102
(1) Sekretaris Daerah Aceh diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.
(2) Gubernur berkonsultasi dengan Presiden sebelum menetapkan seorang calon
Sekretaris Daerah Aceh.
(3) Gubernur menetapkan seorang calon Sekretaris Daerah Aceh dan disampaikan kepada
Presiden untuk ditetapkan.
(4) Presiden menetapkan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Sekretaris
Daerah Aceh dengan Keputusan Presiden.
Pasal 103
(1) Gubernur berkonsultasi dengan Presiden sebelum Sekretaris Daerah Aceh
diberhentikan.
(2) Gubernur menetapkan Sekretaris Daerah Aceh untuk diberhentikan dan disampaikan
kepada Presiden.
(3) Presiden menetapkan pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 104
(1) Sekretariat daerah kabupaten/kota dipimpin oleh sekretaris daerah kabupaten/kota.
(2) Sekretaris daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
tugas, fungsi, dan wewenang:
a. membantu bupati/walikota dalam menyusun kebijakan;
b. mengoordinasikan dinas, lembaga, dan badan kabupaten/kota;
c. membina Pegawai Negeri Sipil dalam kabupaten/kota.
(3) Dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), sekretaris daerah kabupaten/kota bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
(4) Dalam hal sekretaris daerah kabupaten/kota berhalangan melaksanakan tugasnya,
tugas sekretaris dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk bupati/walikota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat
daerah kabupaten/kota diatur dalam qanun kabupaten/kota yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
Pasal 105
(1) Sekretaris daerah kabupaten/kota diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi
syarat.
(2) Bupati/walikota berkonsultasi dengan Gubernur sebelum menetapkan seorang calon
sekretaris daerah kabupaten/kota.
(3) Bupati/walikota menetapkan seorang calon sekretaris daerah kabupaten/ kota dan
disampaikan kepada Gubernur untuk ditetapkan.
(4) Gubernur menetapkan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi sekretaris
daerah kabupaten/kota dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 106
(1) Bupati/walikota berkonsultasi dengan Gubernur sebelum sekretaris daerah
kabupaten/kota diberhentikan.
(2) Bupati/walikota menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota untuk diberhentikan dan
disampaikan kepada Gubernur.
(3) Gubernur menetapkan pemberhentian sekretaris daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan sekretaris daerah kabupaten/kota diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Sekretariat DPRA
Pasal 108
(1) Sekretariat DPRA dipimpin oleh Sekretaris DPRA.
(2) Sekretaris DPRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRA.
(3) Sekretaris DPRA mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRA;
b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRA dan menyelenggarakan administrasi
keuangan;
c. melakukan pengelolaan dan administrasi anggaran belanja DPRA;
d. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRA; dan
e. menyediakan dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRA dalam
melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
(4) Sekretaris DPRA dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf e wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRA.
(5) Sekretaris DPRA dalam melaksanakan tugasnya secara operasional berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRA dan secara administratif berada di
bawah koordinasi Sekretaris Daerah Aceh.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Sekretariat DPRA diatur dalam
Qanun Aceh.
Bagian Kelima
Sekretariat DPRK
Pasal 109
(1) Sekretariat DPRK dipimpin oleh Sekretaris DPRK.
(2) Sekretaris DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRK.
(3) Sekretaris DPRK mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRK;
b. menyusun rencana anggaran sekretariat DPRK dan menyelenggarakan administrasi
keuangan;
c. melakukan pengelolaan dan administrasi anggaran belanja DPRK;
d. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRK; dan
e. menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRK dalam
melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan kabupaten/kota.
(4) Sekretaris DPRK dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf e wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRK.
(5) Sekretaris DPRK dalam melaksanakan tugasnya secara operasional berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRK dan secara administratif berada di
bawah koordinasi sekretaris daerah kabupaten/kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi sekretariat DPRK diatur dalam
qanun kabupaten/kota.
Bagian Keenam
Dinas, Badan, dan Lembaga Teknis Aceh, Kabupaten/Kota
Pasal 110
(1) Dinas Aceh dan kabupaten/kota merupakan unsur pelaksana Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota.
(2) Dinas Aceh dan kabupaten/kota dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dari Pegawai
Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Kepala Dinas Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Aceh.
(4) Kepala dinas kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota atas usul
sekretaris daerah kabupaten/kota.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Dinas Aceh bertanggung jawab kepada
Gubernur melalui Sekretaris Daerah Aceh.
(6) Dalam melaksanakan tugasnya kepala dinas kabupaten/ kota bertanggung jawab
kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah kabupaten/kota.
Pasal 111
(1) Lembaga Teknis Aceh merupakan unsur pendukung tugas Gubernur dalam penyusunan
dan pelaksanaan kebijakan Aceh yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan atau
kantor.
(2) Lembaga teknis kabupaten/kota merupakan unsur pendukung tugas bupati/walikota
dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota yang bersifat spesifik
dapat berbentuk badan atau kantor.
(3) Badan atau Kantor Aceh dan kabupaten/kota dipimpin oleh kepala badan atau kantor
yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Kepala Badan atau Kantor Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Aceh.
(5) Kepala badan atau kantor kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah
kabupaten/kota.
(6) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Badan atau Kantor Aceh bertanggung jawab
kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Aceh.
(7) Dalam melaksanakan tugasnya kepala badan atau kantor kabupaten/kota bertanggung
jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah kabupaten/kota.
Bagian Ketujuh
Kecamatan
Pasal 112
(1) Kecamatan dipimpin oleh camat.
(2) Dalam pelaksanaan tugasnya camat memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan
bupati/walikota untuk menangani urusan pemerintahan kabupaten/kota.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), camat juga menyelenggarakan
tugas umum pemerintahan meliputi:
a. menyelenggarakan kegiatan pemerintahan pada tingkat kecamatan;
b. membina penyelenggaraan pemerintahan mukim, kelurahan, dan gampong;
c. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya
dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan mukim, kelurahan, dan
gampong;
d. mengoordinasikan:
1) kegiatan pemberdayaan masyarakat;
2) upaya penyelengaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
3) penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; dan
4) pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
(4) Pengangkatan dan pemberhentian camat dilakukan oleh bupati/walikota.
(5) Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat oleh bupati/walikota atas usul
sekretaris daerah kabupaten/kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Camat dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibantu oleh
perangkat kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada
bupati/walikota melalui sekretaris daerah kabupaten/kota.
(7) Perangkat kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam melaksanakan
tugasnya bertanggung jawab kepada camat.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur dengan peraturan bupati/walikota
dengan berpedoman pada qanun kabupaten/kota.
Bagian Kedelapan
Kelurahan
Pasal 113
(1) Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan qanun kabupaten/kota dan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
(2) Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh lurah yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari bupati/ walikota.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:
a. melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b. memberdayakan masyarakat;
c. memberikan pelayanan kepada masyarakat;
d. membina terselenggaranya ketenteraman dan ketertiban umum; dan
e. membangun serta memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
(4) Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh bupati/walikota atas usul
camat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), lurah bertanggung
jawab kepada camat.
(6) Lurah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibantu oleh
perangkat kelurahan.
(7) Perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam melaksanakan
tugasnya bertanggung jawab kepada lurah.
(8) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), dapat dibentuk lembaga lain sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan
peraturan bupati/walikota.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat
(4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur dengan peraturan bupati/walikota sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
MUKIM DAN GAMPONG
Bagian Kesatu
Mukim
Pasal 114
(1) Dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong.
(2) Mukim dipimpin oleh imeum mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim
yang dibantu oleh tuha peuet mukim atau nama lain.
(3) Imeum mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim
diatur dengan qanun kabupaten/kota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan imeum mukim diatur dengan Qanun
Aceh.
Bagian Kedua
Gampong
Pasal 115
(1) Dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk gampong atau nama lain.
(2) Pemerintahan gampong terdiri atas keuchik dan badan permusyawaratan gampong
yang disebut tuha peuet atau nama lain.
(3) Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota
masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk
satu kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 116
(1) Dalam melaksanakan tugasnya keuchik dibantu perangkat gampong yang terdiri atas
sekretaris gampong dan perangkat gampong lainnya.
(2) Sekretaris gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dari Pegawai Negeri
Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya sekretaris gampong dan perangkat gampong lainnya
bertanggung jawab kepada keuchik.
Pasal 117
(1) Pembentukan, penggabungan, dan/atau penghapusan gampong dilakukan dengan
memperhatikan asal-usul dan prakarsa masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi dan
perangkat pemerintahan gampong atau nama lain diatur dengan qanun kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan keuchik diatur dengan Qanun Aceh.
BAB XVI
KEPEGAWAIAN
Pasal 118
(1) Pegawai Negeri Sipil di Aceh merupakan satu kesatuan manajemen Pegawai Negeri
Sipil secara nasional.
(2) Manajemen Pegawai Negeri Sipil di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan
pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum,
pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.
(3) Pengelolaan manajemen pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diserahkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota.
Pasal 119
(1) Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada
Pemerintah Aceh ditetapkan oleh Gubernur.
(2) Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada
pemerintah kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota.
Pasal 120
(1) Perpindahan Pegawai Negeri Sipil antarkabupaten/kota dalam Aceh ditetapkan oleh
Gubernur.
(2) Perpindahan Pegawai Negeri Sipil antarkabupaten/kota antarprovinsi dan antarprovinsi
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
(3) Perpindahan Pegawai Negeri Sipil dari Aceh/kabupaten/kota ke departemen/lembaga
pemerintah non-departemen atau sebaliknya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
(4) Perpindahan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) didasarkan pada norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh Kepala
Badan Kepegawaian Negara.
Pasal 121
Penetapan formasi Pegawai Negeri Sipil daerah setiap tahun anggaran diusulkan oleh
Gubernur kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara melalui Menteri Dalam Negeri.
Pasal 122
Pengembangan karir Pegawai Negeri Sipil Aceh/kabupaten/kota dilakukan dengan
mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi
jabatan, mutasi antardaerah, dan kompetensi.
Pasal 123
(1) Gaji dan tunjangan Pegawai Negeri Sipil di daerah dibebankan pada APBA/APBK yang
bersumber dari alokasi dasar dalam dana alokasi umum.
(2) Penghitungan dan penyesuaian besaran alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akibat pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pemindahan Pegawai Negeri
Sipil di daerah dilaksanakan setiap tahun.
(3) Penghitungan alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berdasarkan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah.
(4) Untuk penghitungan penyesuaian alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pemerintah melakukan pemutakhiran data pengangkatan, pemberhentian, dan
pemindahan Pegawai Negeri Sipil Aceh/kabupaten/ kota.
Pasal 124
(1) Pembinaan dan pengawasan Pegawai Negeri Sipil Aceh/kabupaten/kota pada tingkat
nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri dan pada tingkat
Aceh/kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur.
(2) Standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan Pegawai Negeri Sipil
Aceh/kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XVII
SYARI’AT ISLAM DAN PELAKSANAANNYA
Pasal 125
(1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak.
(2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 126
(1) Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam.
(2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati
pelaksanaan syari’at Islam.
Pasal 127
(1) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam.
(2) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota menjamin kebebasan, membina
kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan
melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama
yang dianutnya.
(3) Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota mengalokasikan
dana dan sumber daya lainnya untuk pelaksanaan syari’at Islam.
(4) Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh dan/atau
pemerintah kabupaten/kota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan qanun yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.
BAB XVIII
MAHKAMAH SYAR’IYAH
Pasal 128
(1) Peradilan syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam
lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari
pengaruh pihak mana pun.
(2) Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam
dan berada di Aceh.
(3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 129
(1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama yang di antaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan
Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah.
(2) Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau ketentuan pidana di luar Kitab
Undang-undang Hukum Pidana berlaku hukum jinayah.
(3) Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Pasal 130
Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) terdiri atas
Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah
Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding.
Pasal 131
(1) Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1)
dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(2) Perkara kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyangkut nikah, talak,
cerai, dan rujuk diselesaikan oleh Mahkamah Agung paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung.
(3) Terhadap putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh atau Mahkamah Syar’iyah yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Perkara peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang menyangkut
nikah, talak, cerai, dan rujuk diselesaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Agung.
Pasal 132
(1) Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah adalah hukum acara yang diatur
dalam Qanun Aceh.
(2) Sebelum Qanun Aceh tentang hukum acara pada ayat (1) dibentuk:
a. hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai ahwal alsyakhsiyah
dan muamalah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama kecuali yang diatur secara khusus
dalam Undang-Undang ini.
b. hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai jinayah
adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
Pasal 133
Tugas penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan syari’at Islam yang menjadi
kewenangan Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai jinayah dilakukan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 134
(1) Perencanaan, pengadaan, pendidikan, dan pelatihan serta pembinaan teknis terhadap
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133
difasilitasi oleh Kepolisan Negara Republik Indonesia Aceh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan, persyaratan, dan pendidikan
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Qanun Aceh.
Pasal 135
(1) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung.
(2) Dalam hal adanya perkara tertentu yang memerlukan keahlian khusus, Ketua
Mahkamah Agung dapat mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc pada Mahkamah
Syar’iyah kepada Presiden.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh diangkat oleh Ketua Mahkamah
Agung dengan memperhatikan pengalamannya sebagai hakim tinggi di Mahkamah
Syar’iyah Aceh.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota diangkat oleh Ketua
Mahkamah Agung atas usul Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Pasal 136
(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Syar’iyah
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah
Syar’iyah dibiayai dari APBN, APBA, dan APBK.
Pasal 137
Sengketa wewenang antara Mahkamah Syar’iyah dan pengadilan dalam lingkungan
peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk tingkat pertama dan tingkat
terakhir.
BAB XIX
MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA
Pasal 138
(1) MPU dibentuk di Aceh/kabupaten/kota yang anggotanya terdiri atas ulama dan
cendekiawan muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan.
(2) MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan kepengurusannya
dipilih dalam musyawarah ulama.
(3) MPU berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, serta
DPRA dan DPRK.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler,
dan hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 139
(1) MPU berfungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan
terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat, dan ekonomi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 140
(1) Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana Pasal 139 ayat (1), MPU mempunyai tugas
dan wewenang sebagai berikut:
a. memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan,
pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan
b. memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah
keagamaan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), MPU dapat
mengikutsertakan tenaga ahli dalam bidang keilmuan terkait.
BAB XX
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN TATA RUANG
Pasal 141
(1) Perencanaan pembangunan Aceh/kabupaten/kota disusun secara komprehensif sebagai
bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. nilai-nilai Islam;
b. sosial budaya;
c. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
d. keadilan dan pemerataan; dan
e. kebutuhan.
(2) Perencanaan pembangunan Aceh/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
(3) Masyarakat berhak terlibat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis
tentang penyusunan perencanaan pembangunan Aceh dan kabupaten/kota melalui
penjaringan aspirasi dari bawah.
Pasal 142
(1) Pemerintah mempunyai kewenangan menetapkan norma, standar, dan prosedur
penataan ruang dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, dan
kabupaten/kota dengan memperhatikan pembangunan berkelanjutan dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup.
(2) Perencanaan, penetapan, dan pemanfaatan tata ruang Aceh didasarkan pada
keistimewaan dan kekhususan Aceh dan saling terkait dengan tata ruang nasional dan
tata ruang kabupaten/kota.
(3) Kewenangan pemerintah Aceh dalam perencanaan, pengaturan, penetapan, dan
pemanfaatan tata ruang Aceh bersifat lintas kabupaten/kota.
(4) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam perencanaan, pengaturan, penetapan,
dan pemanfaatan tata ruang kabupaten/kota memperhatikan:
a. adat budaya setempat;
b. penyediaan tanah untuk fasilitas sosial dan umum, jaringan prasarana jalan,
pengairan, dan utilitas;
c. keberpihakan kepada masyarakat miskin;
d. daerah-daerah rawan bencana;
e. penyediaan kawasan lindung dan ruang terbuka hijau serta untuk pelestarian taman
nasional;
f. pemberian insentif dan disinsentif;
g. pemberian sanksi; dan
h. pengendalian pemanfaatan ruang.
(5) Masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang Aceh dan kabupaten/kota.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan qanun.
Pasal 143
(1) Pembangunan Aceh dan kabupaten/kota dilaksanakan secara berkelanjutan yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran rakyat.
(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam menyusun dan
melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan berkewajiban memperhatikan,
menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakkan hak-hak masyarakat Aceh.
(3) Masyarakat berhak untuk terlibat secara aktif dalam penyelenggaraan pembangunan
yang berkelanjutan.
(4) Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi tata ruang yang sudah ditetapkan oleh
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota.
(5) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban memasyarakatkan
informasi tata ruang yang sudah ditetapkan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan yang berkelanjutan di Aceh diatur dengan qanun.
Pasal 144
(1) Dalam hal penyediaan tanah untuk fasilitas sosial dan umum, jaringan prasarana jalan,
serta pengairan dan utilitas, pelepasan hak atas tanah dilakukan menurut Undang-
Undang ini.
(2) Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
dengan memberikan penggantian yang layak yang disepakati bersama sebagai imbalan
atas pencabutan hak.
(3) Untuk melaksanakan pelepasan, Gubernur membentuk Tim Penilai Pencabutan Hak dan
Penggantian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelepasan hak atas tanah dan besarnya
penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Qanun
Aceh.
Pasal 145
Segala kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan di atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 harus memenuhi persyaratan:
a. sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. bebas dari segala sengketa hak perseorangan dan komunitas sosial atas tanah; dan
c. bebas dari status tanah yang peruntukannya digunakan untuk kepentingan agama.
Pasal 146
(1) Untuk menjamin pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh, Pemerintah
Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban menyediakan tanah untuk
pembangunan pemerintahan dan fasilitas umum lain.
(2) Untuk melaksanakan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memiliki aset berupa tanah yang hak
pengelolaannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 147
Pelaksanaan pembangunan di Aceh dan kabupaten/kota dilakukan dengan mengacu pada
rencana pembangunan dan tata ruang nasional yang berpedoman pada prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan, dan
keadilan.
Pasal 148
(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi serta menegakkan hak masyarakat terhadap
pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok
rentan.
(2) Masyarakat berhak untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelibatan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup diatur dalam qanun.
Pasal 149
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan pengelolaan
lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber
daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati
dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan penduduk.
(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melindungi,
menjaga, memelihara, dan melestarikan Taman Nasional dan kawasan lindung.
(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola kawasan
lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekologi.
(4) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota wajib mengikutsertakan lembaga
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan pelindungan
lingkungan hidup.
(5) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau
di luar pengadilan.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 150
(1) Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan
ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian,
pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.
(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan
izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Aceh melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/ kota dan dapat melakukan
kerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak lain.
(4) Dalam rangka pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
berkewajiban menyediakan anggaran, sarana, dan prasarana.
BAB XXI
KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
Pasal 151
(1) Dalam rangka melaksanakan kewenangan pemerintahan di bidang komunikasi dan
informatika, pemerintah kabupaten/kota berwenang melaksanakan urusan bidang pos
yang meliputi:
a. pemberian izin pembentukan usaha jasa titipan;
b. pemberian izin usaha jasa titipan untuk kantor cabang; dan
c. penertiban usaha jasa titipan untuk kantor cabang.
(2) Pemerintah Aceh berwenang melaksanakan urusan bidang telekomunikasi yang
meliputi:
a. pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan
telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus, dan
kewajiban pelayanan universal skala wilayah;
b. pemberian izin untuk penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan
Pemerintah dan badan hukum di wilayah Aceh sepanjang tidak menggunakan
spektrum frekuensi radio;
c. pengawasan terhadap layanan jasa telekomunikasi;
d. pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap
lokal berbasis kabel cakupan provinsi;
e. koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang
telekomunikasi;
f. pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi di wilayah
Aceh; dan
g. pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.
(3) Pemerintah Aceh berwenang menetapkan pedoman pembuatan menara dan pemberian
izin galian untuk keperluan penarikan kabel telekomunikasi lintas kabupaten/jalan
provinsi.
(4) Kewenangan lain di bidang pos, telekomunikasi, dan informatika bagi Pemerintah Aceh
dan pemerintah kabupaten/kota selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 152
(1) Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur
telekomunikasi perdesaan di Aceh.
(2) Pendanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain bersumber
dari pendapatan negara bukan pajak sektor telekomunikasi.
Pasal 153
(1) Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan menetapkan ketentuan di bidang pers dan
penyiaran berdasarkan nilai Islam.
(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Aceh berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Aceh
menetapkan pedoman etika penyiaran dan standar program siaran.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Qanun Aceh.
(4) Kewenangan lain di bidang pers dan penyiaran bagi Pemerintah Aceh, selain yang diatur
dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan.
BAB XXII
PEREKONOMIAN
Bagian Kesatu
Prinsip Dasar
Pasal 154
(1) Perekonomian di Aceh merupakan perekonomian yang terbuka dan tanpa hambatan
dalam investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional.
(2) Perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasar atas asas kekeluargaan dan asas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan serta menjaga keseimbangan kemajuan kabupaten/kota
yang ada di Aceh.
(3) Usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat,
pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi
kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja.
Bagian Kedua
Arah Perekonomian
Pasal 155
(1) Perekonomian di Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi
terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efisiensi dalam pola pembangunan
berkelanjutan.
(2) Perekonomian di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia melalui proses penciptaan
nilai tambah yang sebesar-besarnya.
(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota melakukan penyederhanaan
peraturan untuk terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan
kegiatan ekonomi lain sesuai dengan kewenangan.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pasal 156
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh
baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi,
eksploitasi, dan budidaya.
(3) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang
pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang
kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan
prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.
(4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), Pemerintah Aceh dapat:
a. membentuk badan usaha milik daerah; dan
b. melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara.
(5) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan oleh
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta
lokal, nasional, maupun asing.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berpedoman
pada standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah.
(7) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5),
pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan
memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Aceh.
Pasal 157
(1) Setiap pelaku kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 bertanggung
jawab untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan yang dieksplorasi dan
dieksploitasi.
(2) Sebelum melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib menyediakan dana jaminan
reklamasi dan rehabilitasi yang besarnya akan diperhitungkan pada waktu pembicaraan
kontrak kerja eksplorasi dan eksploitasi.
Pasal 158
Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pembangunan
ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan kesehatan yang seimbang sebagai kompensasi atas
eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Pasal 159
(1) Setiap pelaku usaha pertambangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di
Aceh berkewajiban menyiapkan dana pengembangan masyarakat.
(2) Dana pengembangan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, dan
pelaku usaha yang besarnya paling sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi
yang dijual setiap tahun.
(3) Rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat guna membiayai program yang
disusun bersama dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat sekitar kegiatan usaha
dan masyarakat di tempat lain serta mengikutsertakan pelaku usaha yang bersangkutan
diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh.
(4) Pembiayaan program pengembangan masyarakat dengan dana pengembangan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikelola sendiri oleh
pelaku usaha yang bersangkutan.
Bagian Keempat
Pengelolaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi
Pasal 160
(1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam
minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh.
(2) Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan
Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang
ditetapkan bersama.
(3) Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam
rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian
kontrak kerja sama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh.
(4) Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan
DPRA.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 161
Perjanjian kontrak kerja sama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada pada saat
Undang-Undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara
Pemerintah dan Pemerintah Aceh sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
160 ayat (3).
Bagian Kelima
Perikanan dan Kelautan
Pasal 162
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola sumber
daya alam yang hidup di laut wilayah Aceh.
(2) Kewenangan untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. konservasi dan pengelolaan sumber daya alam di laut;
b. pengaturan administrasi dan perizinan penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan;
c. pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah laut yang
menjadi kewenangannya;
e. pemeliharaan hukum adat laut dan membantu keamanan laut; dan
f. keikutsertaan dalam pemeliharaan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang menerbitkan izin
penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di laut sekitar Aceh
sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.
Bagian Keenam
Perdagangan dan Investasi
Pasal 163
(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota menjamin pelaksanaan
perdagangan internal di Aceh bebas dari hambatan.
(2) Penduduk Aceh dapat melakukan perdagangan secara bebas dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui darat, laut dan udara tanpa hambatan pajak, bea,
atau hambatan perdagangan lainnya, kecuali perdagangan dari daerah yang terpisah
dari daerah pabean Indonesia.
Pasal 164
Setiap pelaku usaha di Aceh dapat membentuk organisasi, asosiasi profesi, dan asosiasi
bisnis yang berbasis lokal dan mandiri.
Pasal 165
(1) Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan
internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya,
dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi
dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan
impor dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara
nasional.
(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan
berdasarkan norma, standar, dan prosedur yang berlaku nasional berhak memberikan:
a. izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum;
b. izin konversi kawasan hutan;
c. izin penangkapan ikan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan satu per tiga dari
wilayah kewenangan daerah provinsi untuk daerah kabupaten/kota;
d. izin penggunaan operasional kapal ikan dalam segala jenis dan ukuran;
e. izin penggunaan air permukaan dan air laut;
f. izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan; dan
g. izin operator lokal dalam bidang telekomunikasi.
(4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus mengacu pada
prinsip-prisip pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, dan prosedur yang sederhana.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.
Pasal 166
Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat menyediakan fasilitas
perpajakan berupa keringanan pajak, pembebasan bea masuk, pembebasan pajak-pajak
dalam rangka impor barang modal, dan bahan baku ke Aceh dan ekspor barang jadi dari
Aceh, fasilitas investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah Aceh.
Bagian Ketujuh
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
Pasal 167
(1) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang adalah suatu kawasan
yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah
dari daerah pabean sehingga bebas dari:
a. tata niaga;
b. pengenaan bea masuk;
c. pajak pertambahan nilai; dan
d. pajak penjualan atas barang mewah.
(2) Ketentuan mengenai bebas dari tata niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, tidak meliputi barang-barang yang dikenakan aturan karantina dan jenis barang/jasa
yang secara tegas dilarang oleh undang-undang serta tidak berlaku untuk perdagangan
antara kawasan Sabang dengan daerah pabean Indonesia dan sebaliknya.
(3) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan
Pemerintah Aceh berkewajiban membangun dan menyiapkan infrastruktur ekonomi yang
dibutuhkan untuk efektivitas perdagangan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang.
Pasal 168
Gubernur selaku wakil Pemerintah berwenang melarang jenis barang tertentu untuk
dimasukkan ke dalam atau dikeluarkan dari kawasan Sabang.
Pasal 169
(1) Pemerintah bersama Pemerintah Aceh mengembangkan Kawasan Perdagangan
Sabang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional melalui kegiatan di bidang
perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi dan maritim, pos
dan telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata, pengolahan, pengepakan, dan
gudang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan industri dari kawasan sekitarnya.
(2) Pengembangan Kawasan Sabang diarahkan untuk kegiatan perdagangan dan investasi
serta kelancaran arus barang dan jasa kecuali jenis barang dan jasa yang secara tegas
dilarang oleh undang-undang.
Pasal 170
(1) Untuk memperlancar kegiatan pengembangan Kawasan Sabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 169, Pemerintah melimpahkan kewenangan di bidang perizinan
dan kewenangan lain yang diperlukan kepada Dewan Kawasan Sabang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Kawasan Sabang
menerima pendelegasian kewenangan di bidang perizinan dan kewenangan lain yang
diperlukan untuk pengembangan Kawasan Sabang, dari Pemerintah Aceh, Pemerintah
Kabupaten Aceh Besar dan Pemerintah Kota Sabang.
(3) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam waktu paling
lambat 6 (enam) bulan dan pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
(4) Kewenangan Dewan Kawasan Sabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang untuk mengeluarkan izin
usaha, izin investasi, dan izin lain yang diperlukan para pengusaha yang mendirikan dan
menjalankan usaha di Kawasan Sabang.
Bagian Kedelapan
Peruntukan Lahan dan Pemanfaatan Ruang
Pasal 171
(1) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berwenang menetapkan
peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang untuk kepentingan pembangunan dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang Aceh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun
kabupaten/kota.
Bagian Kesembilan
Infrastruktur Ekonomi
Pasal 172
(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota dapat membangun
pelabuhan dan bandar udara umum di Aceh.
(2) Pengelolaan pelabuhan dan bandar udara yang dibangun oleh Pemerintah Aceh
dan/atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
oleh Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan dan pengelolaan pelabuhan dan bandar
udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan qanun dengan
memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku.
Pasal 173
(1) Pelabuhan dan bandar udara umum yang pada saat Undang-Undang ini diundangkan,
dikelola oleh badan usaha milik negara (BUMN) dikerjasamakan pengelolaannya
dengan Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
(2) Kerja sama pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk
perusahaan patungan yang dilaksanakan sesuai dengan norma, standard dan prosedur
yang berlaku.
(3) Pelaksanaan fungsi keselamatan pelayaran dan keselamatan penerbangan bagi
pelabuhan dan bandar udara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelaksanaan kerja sama pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum yang dikelola
oleh badan usaha milik negara (BUMN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku.
BAB XXIII
TENAGA KERJA
Pasal 174
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang mengeluarkan izin usaha
jasa pengerahan tenaga kerja ke luar negeri berdasarkan peraturan perundangundangan.
(2) Setiap tenaga kerja berhak mendapat pelindungan dan kesejahteraan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap badan usaha jasa pengerahan tenaga kerja ke luar negeri berkewajiban
mengadakan pendidikan dan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan
tempat bekerja.
(4) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memberikan pelindungan
bagi tenaga kerja yang berasal dari Aceh dan kabupaten/kota yang bekerja di luar negeri
bekerja sama dengan pemerintah negara tujuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengerahan tenaga kerja ke luar negeri dan tata cara
pelindungan diatur dalam qanun berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 175
(1) Setiap tenaga kerja mempunyai hak yang sama untuk mendapat pekerjaan yang layak di
Aceh.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memberikan kesempatan dan
pelindungan kerja bagi tenaga kerja di Aceh dan dapat bekerja sama dengan pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota asal tenaga kerja yang bersangkutan.
(3) Semua tenaga kerja di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terdaftar pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan masing-masing
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pelindungan tenaga kerja
diatur dalam qanun.
Pasal 176
(1) Tenaga kerja asing dapat bekerja di Aceh setelah memperoleh izin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat diberikan setelah pemberi kerja
membuat rencana penggunaan tenaga asing sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang disahkan oleh instansi Pemerintah Aceh yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat diberikan untuk jabatan tertentu
dan waktu tertentu setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah Aceh.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin untuk jabatan tertentu dan untuk jangka
waktu tertentu serta mekanisme memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Qanun Aceh.
Pasal 177
(1) Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memfasilitasi sarana mengenai
organisasi dan keanggotaan dalam organisasi pekerja/buruh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan syarat keanggotaan dalam
organisasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan qanun.
BAB XXIV
KEUANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 178
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di Aceh dan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada
pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Aceh dan
kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai dari dan atas beban
APBA dan APBK.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur Aceh
selaku wakil pemerintah disertai dengan pendanaan dari APBN dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintahan Aceh,
pemerintahan kabupaten/kota, dan gampong disertai dengan pendanaan dari APBN
dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
Bagian Kedua
Sumber Penerimaan dan Pengelolaan
Pasal 179
(1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan;
c. Dana Otonomi Khusus; dan
d. lain-lain pendapatan yang sah.
Pasal 180
(1) Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud Pasal 179 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik Aceh/kabupaten/kota dan
hasil penyertaan modal Aceh/kabupaten/ kota;
d. zakat; dan
e. lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli kabupaten/kota yang sah.
(2) Pengelolaan sumber PAD Aceh dan PAD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Pasal 181
(1) Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil pajak, yaitu:
1) bagian dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90%
(sembilan puluh persen);
2) bagian dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
3) bagian dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib
pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21) sebesar 20% (dua puluh
persen).
b. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain, yaitu:
1) bagian dari kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
2) bagian dari perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
3) bagian dari pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);
4) bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80% (delapan puluh persen);
5) bagian dari pertambangan minyak sebesar 15% (lima belas persen); dan
6) bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30% (tiga puluh persen).
c. Dana Alokasi Umum.
d. Dana Alokasi Khusus.
(2) Pembagian Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pemerintah Aceh
mendapat tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari
penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu:
a. bagian dari pertambangan minyak sebesar 55% (lima puluh lima persen); dan
b. bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40% (empat puluh persen).
Pasal 182
(1) Pemerintah Aceh berwenang mengelola tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas
bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (3).
(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan dalam APBA.
(3) Paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari pendapatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dialokasikan untuk membiayai pendidikan di Aceh.
(4) Paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari pendapatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dialokasikan untuk membiayai program pembangunan yang disepakati bersama
antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota.
(5) Program pembangunan yang sudah disepakati bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Qanun Aceh.
(7) Pemerintah Aceh menyampaikan laporan secara periodik mengenai pelaksanaan
pengalokasian dan penggunaan tambahan Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Pemerintah.
Pasal 183
(1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c,
merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai
pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan
ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan
kesehatan.
(2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun
kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum
Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang
besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk daerah Aceh sesuai
dengan batas wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(4) Program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam
program pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh dengan memperhatikan
keseimbangan kemajuan pembangunan antarkabupaten/ kota untuk dijadikan dasar
pemanfaatan dana otonomi khusus yang pengelolaannya diadministrasikan pada
Pemerintah Provinsi Aceh.
(5) Penggunaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh.
Pasal 184
Untuk mengkoordinasikan tambahan Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
181 ayat (3) dan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (2),
Gubernur dapat membentuk satuan unit kerja.
Pasal 185
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 179 ayat (1) bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya;
b. pencairan dana cadangan;
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. penerimaan pinjaman; dan
e. penerimaan kembali pemberian pinjaman.
Pasal 186
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari
Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri atau bersumber selain dari
pinjaman luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah mendapat
pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari
dalam negeri yang bukan berasal dari pemerintah dengan pertimbangan Menteri Dalam
Negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana pinjaman dari dalam dan/atau luar negeri dan
bantuan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(4) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima hibah dari luar negeri
dengan kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah dan DPRA/DPRK.
(5) Penerimaan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat:
a. tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan
pemerintah kabupaten/kota;
b. tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;
c. tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan
d. tidak bertentangan dengan ideologi negara.
(6) Dalam hal hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mensyaratkan adanya kewajiban
yang harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang
mensyaratkan adanya dana pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan
diberitahukan kepada DPRA/DPRK.
Pasal 187
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerbitkan obligasi daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 188
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan dana cadangan yang
disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak
dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.
Pasal 189
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan penyertaan
modal/kerja sama pada/dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan/atau badan
usaha milik swasta atas dasar prinsip saling menguntungkan.
(2) Penyertaan modal/kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah,
dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dilakukan divestasi atau dialihkan
kepada badan usaha milik daerah.
(3) Penyertaan modal/kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditetapkan dengan qanun.
(4) Anggaran yang timbul akibat penyertaan modal/kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dicantumkan dalam APBA/APBK.
Pasal 190
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola APBA/APBK secara tertib,
taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk
masyarakat.
(2) Pengelolaan APBA dan APBK dilaksanakan melalui suatu sistem yang diwujudkan
dalam APBA dan APBK yang setiap tahun diatur dalam qanun.
(3) Alokasi anggaran belanja untuk pelayanan publik dalam APBA/APBK lebih besar dari
alokasi anggaran belanja untuk aparatur.
(4) Dalam keadaan tertentu, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dapat
menyusun APBA/APBK yang berbeda dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Pasal 191
(1) Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal
kabupaten/kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan qanun.
Pasal 192
Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang
dari wajib pajak.
Pasal 193
(1) Anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
APBA/APBK dan diperuntukkan bagi pendidikan pada tingkat sekolah.
(2) Pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam
pertanggungjawaban APBA/APBK.
(3) Alokasi dan pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota diatur dengan qanun.
Pasal 194
(1) Pemerintah melaksanakan prinsip transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian
pendapatan yang berasal dari Aceh.
(2) Dalam melaksanakan transparansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Aceh dapat menggunakan auditor independen yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa
Keuangan untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Badan Pemeriksa Keuangan menyerahkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada Pemerintah dan Pemerintah Aceh.
Pasal 195
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur tata cara
Pengadaan Barang dan Jasa yang menggunakan dana APBA dan APBK dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah Aceh menetapkan sistem akuntansi keuangan dengan berpedoman pada
standar akuntansi pemerintahan.
(3) Sistem akuntansi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Gubernur.
Pasal 196
(1) Pemerintah Aceh berwenang menetapkan persyaratan untuk lembaga keuangan bank
dan lembaga keuangan bukan bank dalam penyaluran kredit di Aceh sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah Aceh dapat menetapkan tingkat suku bunga tertentu setelah mendapatkan
kesepakatan dengan lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank
terkait.
(3) Pemerintah Aceh dapat menanggung beban bunga akibat tingkat suku bunga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk program pembangunan tertentu yang telah
disepakati dengan DPRA.
(4) Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di Aceh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 197
Tata cara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, perubahan, perhitungan,
pertanggungjawaban dan pengawasan APBA/APBK, diatur dalam qanun dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 198
(1) Setiap pelimpahan wewenang Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah
di Aceh disertai dengan dana.
(2) Kegiatan dekonsentrasi di Aceh dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang
ditetapkan oleh Gubernur.
(3) Gubernur Aceh memberitahukan rencana kerja dan anggaran pemerintah yang
berkaitan dengan tugas yang dilimpahkan dalam rangka dekonsentrasi kepada DPRA.
Pasal 199
(1) Semua barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi menjadi barang milik negara.
(2) Barang milik negara sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dihibahkan kepada
Pemerintah Aceh.
Pasal 200
(1) Setiap tugas pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota, mukim/gampong disertai dengan dana.
(2) Kegiatan tugas pembantuan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
ditetapkan oleh Gubernur/bupati/walikota.
(3) Gubernur/bupati/walikota memberitahukan rencana kerja dan anggaran Pemerintah
yang berkaitan dengan tugas pembantuan kepada DPRA/DPRK.
Pasal 201
(1) Semua barang yang diperoleh dari dana tugas pembantuan menjadi barang milik
negara.
(2) Barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dihibahkan kepada
Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, dan mukim/gampong.
BAB XXV
TENTARA NASIONAL INDONESIA
Pasal 202
(1) Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan pertahanan negara
dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi memelihara,
melindungi dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti penanggulangan
bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas-tugas
kemanusiaan lain dilakukan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.
(4) Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Aceh tetap menjunjung tinggi
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya serta adat istiadat
Aceh.
Pasal 203
(1) Tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Aceh diadili
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Peradilan terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan secara terbuka dan dibuka untuk umum kecuali undang-undang
menentukan lain.
BAB XXVI
KEPOLISIAN
Pasal 204
(1) Kepolisian di Aceh merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Kepolisian di Aceh bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan melaksanakan
tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
(3) Kebijakan ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Aceh dikoordinasikan oleh Kepala
Kepolisian Aceh kepada Gubernur.
(4) Pelaksanaan tugas kepolisian di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian
Aceh kepada Gubernur.
(5) Kepala Kepolisian Aceh bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia atas pembinaan kepolisian di Aceh dalam kerangka pelaksanaan tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 205
(1) Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
(2) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan
disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan
diterima.
(3) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Kepala Kepolisian Republik Indonesia mengangkat Kepala
Kepolisian di Aceh.
(4) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia mengajukan satu kali lagi calon lain.
(5) Pemberhentian Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Pasal 206
Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan keamanan, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dapat mengangkat pejabat sementara Kepala Kepolisian di Aceh sambil
menunggu persetujuan Gubernur.
Pasal 207
(1) Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di
Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan ketentuan hukum,
syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur Aceh.
(2) Pendidikan dasar bagi calon bintara dan pelatihan umum bagi bintara Kepolisian Aceh
diberi kurikulum muatan lokal dan dengan penekanan terhadap hak asasi manusia.
(3) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal
dari Aceh dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Penempatan bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Aceh
ke Kepolisian Aceh dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam, budaya, dan adat
istiadat.
BAB XXVII
KEJAKSAAN
Pasal 208
(1) Kejaksaan di Aceh merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
(2) Kejaksaan di Aceh melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan
hukum termasuk pelaksanaan syari’at Islam.
Pasal 209
(1) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung dengan
persetujuan Gubernur.
(2) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan
disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan
diterima.
(3) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung mengangkat Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.
(4) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan Jaksa Agung mengajukan satu
kali lagi calon lain.
(5) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung.
Pasal 210
Seleksi dan penempatan jaksa di Aceh dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan
memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam, budaya, dan adat istiadat Aceh.
BAB XXVIII
KEPENDUDUKAN
Pasal 211
(1) Orang Aceh adalah setiap individu yang lahir di Aceh atau memiliki garis keturunan
Aceh, baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh dan mengakui dirinya sebagai orang
Aceh.
(2) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota mengakui, menghormati,
dan melindungi keanekaragaman etnik di Aceh.
(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengakui dan melindungi hak setiap
kelompok etnik yang ada di Aceh untuk diperlakukan setara dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.
Pasal 212
(1) Penduduk Aceh adalah setiap orang yang bertempat tinggal secara menetap di Aceh
tanpa membedakan suku, ras, agama, dan keturunan.
(2) Setiap penduduk Aceh yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun dan/atau telah menikah
wajib memiliki kartu tanda penduduk.
(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola data kependudukan sesuai
dengan kewenangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kependudukan dan identitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan qanun yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
BAB XXIX
PERTANAHAN
Pasal 213
(1) Setiap warga negara Indonesia yang berada di Aceh memiliki hak atas tanah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan
mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas
tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada
termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku
secara nasional.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kewenangan Pemerintah
Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan hak guna bangunan dan
hak guna usaha sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku.
(4) Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota wajib melakukan pelindungan
hukum terhadap tanah-tanah wakaf, harta agama, dan keperluan suci lainnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak atas tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan qanun yang memperhatikan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 214
(1) Pemerintah Aceh berwenang memberikan hak guna bangunan dan hak guna usaha bagi
penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing sesuai dengan norma,
standar, dan prosedur yang berlaku.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
BAB XXX
PENDIDIKAN
Pasal 215
(1) Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem
pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan
masyarakat setempat.
(2) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan
dan pengendalian mutu layanan.
Pasal 216
(1) Setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan Islami sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan atas
prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai Islam, budaya, dan kemajemukan bangsa.
Pasal 217
(1) Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.
(2) Pemerintah, Pemerintahan Aceh, dan pemerintahan kabupaten/kota mengalokasikan
dana untuk membiayai pendidikan dasar dan menengah.
(3) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota menyediakan pendidikan layanan
khusus bagi penduduk Aceh yang berada di daerah terpencil atau terbelakang.
(4) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota menyediakan pelayanan
pendidikan khusus bagi penduduk Aceh yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial, serta yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pasal 218
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan mengenai
penyelenggaraan pendidikan formal, pendidikan dayah dan pendidikan nonformal lain
melalui penetapan kurikulum inti dan standar mutu bagi semua jenis dan jenjang
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Alokasi dana pendidikan melalui APBA/APBK hanya diperuntukkan bagi pendidikan
pada tingkat sekolah.
(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memberikan kesempatan luas kepada
lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan
dunia usaha untuk menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan yang bermutu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 219
(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi
penyelenggaraan pendidikan untuk mendapatkan tenaga kependidikan yang profesional
dari luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelenggara pendidikan di Aceh dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dari
dalam dan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 220
(1) Pemerintah Aceh meningkatkan fungsi Majelis Pendidikan Daerah yang merupakan
salah satu wadah partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan dan fungsi Majelis
Pendidikan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Qanun Aceh
yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
BAB XXXI
KEBUDAYAAN
Pasal 221
(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota melindungi, membina,
mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam.
(2) Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah,
Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota mengikutsertakan masyarakat dan
lembaga sosial.
(3) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, mengakui, menghormati
dan melindungi warisan budaya dan seni kelompok etnik di Aceh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan qanun.
Pasal 222
(1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh memelihara dan mengusahakan pengembalian
benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dan merawatnya sebagai warisan
budaya Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Aceh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
BAB XXXII
SOSIAL
Pasal 223
(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban untuk:
a. memberikan pelindungan dan pelayanan sosial dasar kepada penyandang masalah
sosial;
b. menyediakan akses yang memudahkan perikehidupan penduduk Aceh yang
menyandang masalah sosial;
c. mengupayakan penanganan/penanggulangan korban bencana (alam dan sosial);
dan
d. merehabilitasi sarana publik dan membantu merehabilitasi harta benda
perseorangan yang hancur akibat bencana.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota membangun panti sosial bagi
penyandang masalah sosial.
(3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memberikan peran kepada
masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat dalam melaksanakan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dalam qanun.
BAB XXXIII
KESEHATAN
Pasal 224
(1) Setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan
kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
(2) Setiap penduduk Aceh berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungan.
(3) Peningkatan derajat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sekurang-kurangnya sesuai dengan standar pelayanan minimal.
(4) Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang
menyeluruh tanpa biaya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam qanun.
Pasal 225
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota wajib memberikan pelayanan
kesehatan berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan lembaga
sosial kemasyarakatan untuk berperan dalam bidang kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan qanun.
Pasal 226
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan lembaga
sosial kemasyarakatan untuk berperan dalam program perbaikan, pemulihan
psikososial, dan kesehatan mental akibat konflik dan bencana alam.
(2) Perencanaan dan pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan budaya Aceh dan memaksimalkan peran masyarakat setempat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam qanun.
BAB XXXIV
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 227
(1) Setiap penduduk berhak:
a. atas kedudukan yang sama di depan hukum;
b. atas kebebasan berbicara, kebebasan pers dan publikasi, kebebasan berserikat,
kebebasan berkumpul, bergerak dari satu tempat ke tempat lain, berdemonstrasi
secara damai, dan hak untuk mendirikan dan bergabung dalam serikat pekerja dan
hak mogok;
c. atas kebebasan untuk melakukan penelitian akademik, kreasi seni, sastra, dan
aktivitas budaya lain yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam;
d. memilih dan dipilih sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dengan peraturan
perundang-undangan; dan
e. mendapatkan pelayanan dan bantuan hukum, fasilitasi melalui pengadilan, memilih
pengacara/penasihat hukum untuk pelindungan pada saat dibutuhkan atas hak-hak
hukum dan kepentingan mereka di depan pengadilan.
(2) Terhadap penduduk tidak dibenarkan untuk:
a. dilakukan semua bentuk penggeledahan sewenang-wenang atau tidak sah atas
tubuh, kediaman, pakaian, pencabutan atau perampasan hak, atau pembatasan atas
kebebasan setiap orang;
b. dilakukan penyiksaan secara sewenang-wenang dan pencabutan atas hak hidup
secara melawan hukum; dan
c. ditangkap, ditahan, diadili, dan dipenjarakan secara melawan hukum.
Pasal 228
(1) Untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang terjadi sesudah Undang-Undang ini diundangkan dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh.
(2) Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban
pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 229
(1) Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.
(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundangundangan.
(4) Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh, Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang
hidup dalam masyarakat.
Pasal 230
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota,
organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Aceh diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 231
(1) Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota serta penduduk Aceh
berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta
melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun.
BAB XXXV
QANUN, PERATURAN GUBERNUR, DAN
PERATURAN BUPATI/WALIKOTA
Pasal 232
(1) Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan
DPRA.
(2) Qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/walikota setelah mendapat persetujuan
bersama dengan DPRK.
Pasal 233
(1) Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan
kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.
(2) Qanun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 berlaku setelah diundangkan dalam
Lembaran Daerah Aceh atau Lembaran Daerah kabupaten/kota.
Pasal 234
(1) Dalam hal rancangan qanun yang telah disetujui bersama oleh DPRA dan Gubernur
atau DPRK dan bupati/walikota tidak disahkan oleh Gubernur atau bupati/walikota dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan qanun disetujui, rancangan qanun tersebut
sah menjadi qanun dan wajib diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran
Daerah Aceh atau Lembaran Daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam hal sahnya rancangan qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rumusan
kalimat pengesahan berbunyi “Qanun ini dinyatakan sah”.
(3) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), beserta
tanggal jatuh sahnya, harus dibubuhkan dalam halaman terakhir qanun sebelum
pengundangan naskah qanun dalam Lembaran Daerah Aceh atau Lembaran Daerah
kabupaten/kota.
Pasal 235
(1) Pengawasan Pemerintah terhadap qanun dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan :
a. kepentingan umum;
b. antarqanun; dan
c. peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam Undang-
Undang ini.
(3) Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(4) Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengatur tentang pelaksanaan
syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung
(5) Sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA, serta bupati/walikota dan
DPRK, Pemerintah mengevaluasi rancangan qanun tentang APBA dan Gubernur
mengevaluasi rancangan APBK.
(6) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat mengikat Gubernur dan
bupati/walikota untuk dilaksanakan.
Pasal 236
Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. keterlaksanaan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pasal 237
(1) Materi muatan qanun mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. keanekaragaman;
f. keadilan;
g. nondiskriminasi;
h. kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, kesetaraan, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), qanun dapat memuat asas lain
sesuai dengan materi muatan qanun yang bersangkutan.
Pasal 238
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka
penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
(2) Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang
partisipasi publik.
Pasal 239
(1) Rancangan qanun dapat berasal dari DPRA, Gubernur dan DPRK, atau bupati/walikota.
(2) Apabila dalam satu masa sidang, DPRA atau Gubernur dan DPRK atau bupati/walikota
menyampaikan rancangan qanun mengenai materi yang sama, maka yang dibahas
adalah rancangan qanun yang disampaikan oleh DPRA/DPRK, sedangkan rancangan
qanun yang disampaikan Gubernur dan bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan qanun yang
berasal dari Gubernur dan bupati/walikota diatur dengan qanun.
Pasal 240
(1) Penyebarluasan rancangan qanun yang berasal dari DPRA/DPRK dilaksanakan oleh
Sekretariat DPRA/DPRK.
(2) Penyebarluasan rancangan qanun yang berasal dari Gubernur, bupati/walikota
dilaksanakan oleh Sekretariat Daerah Aceh dan sekretariat daerah kabupaten/kota.
Pasal 241
(1) Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum,
seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
(4) Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3).
Pasal 242
Dalam hal diperlukan untuk pelaksanaan qanun, Gubernur dan bupati/walikota dapat
menetapkan Peraturan/Keputusan Gubernur atau peraturan/keputusan bupati/walikota.
Pasal 243
(1) Qanun diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh atau Lembaran Daerah
kabupaten/kota.
(2) Peraturan Gubernur, peraturan bupati/walikota diundangkan dalam Berita Daerah Aceh
atau Berita Daerah kabupaten/kota.
(3) Pengundangan qanun dan Peraturan Gubernur dilakukan oleh Sekretaris Daerah Aceh.
(4) Pengundangan qanun dan peraturan bupati/walikota dilakukan oleh sekretaris daerah
kabupaten/kota
(5) Pemerintah Aceh wajib menyebarluaskan qanun dan Peraturan Gubernur yang telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh dan Berita Daerah Aceh.
(6) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyebarluaskan qanun dan peraturan
bupati/walikota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah kabupaten/kota dan
Berita Daerah kabupaten/kota.
Pasal 244
(1) Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun dalam penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat dapat membentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
(2) Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun Syar’iyah dalam pelaksanaan
syari’at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan
Polisi Pamong Praja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan penyusunan organisasi Satuan Polisi
Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun yang
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 245
(1) Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil.
(2) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas qanun dilakukan oleh pejabat
penyidik dan penuntut umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XXXVI
BENDERA, LAMBANG, DAN HIMNE
Pasal 246
(1) Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh
dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang
mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.
(3) Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan
merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di
Aceh.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 247
(1) Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan
kekhususan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai lambang sebagai simbol sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Qanun Aceh.
Pasal 248
(1) Lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan yang bersifat nasional dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pemerintah Aceh dapat menetapkan himne Aceh sebagai pencerminan keistimewaan
dan kekhususan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai himne Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Qanun Aceh.
BAB XXXVII
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PENYELESAIAN
PERSELISIHAN
Pasal 249
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintah
kabupaten/kota dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 250
(1) Gubernur menyelesaikan perselisihan jika terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan
fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota dalam Provinsi Aceh.
(2) Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan jika terjadi perselisihan antarprovinsi,
antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan
kabupaten/kota di luar wilayahnya.
(3) Keputusan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
bersifat final dan mengikat.
BAB XXXVIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 251
(1) Nama Aceh sebagai daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan gelar
pejabat pemerintahan yang dipilih akan ditentukan oleh DPRA setelah pemilihan umum
tahun 2009.
(2) Sebelum ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam tetap digunakan sebagai nama provinsi.
(3) Nama dan gelar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah berdasarkan usul dari DPRA dan Gubernur Aceh.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota hasil pemilihan umum tahun
2004 tetap melaksanakan tugasnya sampai habis masa baktinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB XXXIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 252
(1) Perjanjian antara Pemerintah dengan negara asing atau pihak lain, yang antara lain
berkenaan dengan perjanjian bagi hasil minyak dan gas bumi yang berlokasi di Aceh,
dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
(2) Perjanjian bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali
dan/atau diperpendek masa berlakunya jika ada kesepakatan antara kedua belah pihak
yang mengadakan perjanjian.
Pasal 253
(1) Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan
kabupaten/kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan perangkat daerah kabupaten/kota
paling lambat awal tahun anggaran 2008.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 254
(1) Penyerahan kewenangan pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum dari
Pemerintah kepada pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
dilaksanakan paling lambat awal tahun anggaran 2008.
(2) Pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum yang sudah ada pada saat Undang-
Undang ini diundangkan dikerjasamakan antara badan usaha milik negara, Pemerintah
Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173
dilaksanakan paling lambat awal tahun anggaran 2008.
Pasal 255
Pengaturan tentang Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 256
Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 257
Peraturan Pemerintah mengenai partai politik lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
diterbitkan paling lambat Februari 2007.
Pasal 258
(1) Pengelolaan tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 181 ayat (3) dan Pasal 182 mulai berlaku sejak tahun anggaran 2008.
(2) Dana otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (2) untuk tahun
pertama mulai berlaku sejak tahun anggaran 2008.
Pasal 259
Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (1)
dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 260
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
berlaku efektif paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 261
(1) Penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang masa
jabatannya telah berakhir pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dilaksanakan
bersamaan waktunya dengan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(2) Penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang masa
jabatannya berakhir pada bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan Januari 2007,
dilaksanakan bersamaan waktunya dengan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(3) Penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota untuk pertama kali sejak Undang-Undang ini disahkan
dilaksanakan oleh KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang ada.
(4) Tata cara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil
walikota setelah Undang-Undang ini diundangkan dapat berpedoman pada peraturan
perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah sesuai dengan
Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lain.
Pasal 262
Dalam hal terdapat izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser di wilayah
Provinsi Aceh yang telah dikeluarkan, dinyatakan tetap berlaku, ditinjau kembali, dan/atau
disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 263
Penyerahan prasarana, pendanaan, personil, dan dokumen yang berkaitan dengan
pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah dari Pemerintah kepada
pemerintah kabupaten/kota di Aceh dilakukan paling lambat pada permulaan tahun
anggaran 2008.
Pasal 264
Penyerahan prasarana, pendanaan, personil, dan dokumen yang berkaitan dengan
pelabuhan dan bandar udara umum dari Pemerintah kepada pemerintah kabupaten/kota di
Aceh dilakukan paling lambat pada permulaan tahun anggaran 2008.
Pasal 265
KIP yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap menjalankan tugasnya
sampai dengan masa baktinya berakhir.
Pasal 266
(1) Untuk pertama kali pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dilakukan oleh
DPRA.
(2) Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan kabupaten/kota dilakukan oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Aceh.
Pasal 267
(1) Kelurahan di Provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi gampong atau nama lain
dalam kabupaten/kota.
(2) Penghapusan kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengalihan sumber
pendanaan, sarana dan prasarana, serta kepegawaian dan dokumen kelurahan
dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Pengalihan pegawai kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditempatkan
sebagai sekretaris gampong, pegawai kecamatan, pegawai kabupaten/kota, atau
pegawai provinsi.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
dengan qanun kabupaten/kota.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
keputusan bupati/walikota atau Keputusan Gubernur.
Pasal 268
Pendanaan kegiatan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota yang dilaksanakan pertama kali sejak Undang-Undang ini
diundangkan dibebankan pada APBN, APBA, dan APBK.
BAB XL
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 269
(1) Peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
(2) Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang berkaitan secara
langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah Provinsi Aceh dan kabupaten/kota
disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
(3) Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih
dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.
Pasal 270
(1) Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional dan pelaksanaan Undang-Undang ini
yang menyangkut kewenangan Pemerintah diatur dengan peraturan perundangundangan.
(2) Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan
Qanun Aceh.
(3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota tentang pelaksanaan Undang-Undang ini
diatur dengan qanun kabupaten/kota.
Pasal 271
Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 272
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 273
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 62
PENJELASAN
ATAS
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2006
TENTANG
PEMERINTAHAN ACEH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1. UMUM
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuansatuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan
daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah
perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Kehidupan masyarakat Aceh yang demikian terartikulasi dalam perspektif modern dalam
bernegara dan berpemerintahan yang demokratis serta bertanggung jawab. Tatanan
kehidupan yang demikian merupakan perwujudan di dalam semboyan Bhinneka Tunggal
Ika. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang
berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh
menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi formal penegakan syari’at
Islam. Itulah yang menjadi bagian dari latar belakang terbentuknya Mahkamah Syar’iyah
yang menjadi salah satu bagian dari anatomi keistimewaan Aceh. Penegakan syari’at
Islam dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang
berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam
wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Aspirasi yang dinamis masyarakat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat, budaya,
sosial, dan politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan juga memberikan jaminan
kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar kehidupan masyarakat Aceh yang
religius telah membentuk sikap, daya juang yang tinggi, dan budaya Islam yang kuat.
Hal demikian menjadi pertimbangan utama penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.
Pembentukan Kawasan Sabang dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 adalah
rangkaian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, dan menjadi
pendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di kawasan Aceh serta modal bagi
percepatan pembangunan daerah lain.
Dalam perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
dipandang kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan atau keadilan di dalam
kehidupan. Kondisi demikian belum dapat mengakhiri pergolakan masyarakat di Provinsi
Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi.
Respon Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melahirkan salah satu solusi politik
bagi penyelesaian persoalan Aceh berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang
mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pelaksanaannya undang-undang
tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan
pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-
Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian
otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola
pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan,
akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluasluasnya
itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan,
menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan
daerah.
Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan
solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah
Aceh. Begitu pula telah tumbuh kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan
Aceh Merdeka untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan,
serta bermartabat yang permanen dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal demikian adalah sebuah kemutlakan.
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan
Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas
baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan
yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa
Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju
pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.
Anatomi ideal dalam kerangka di atas memberikan konsiderasi filosofis, yuridis, dan
sosiologis dibentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang
ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluasluasnya
yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem
dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya
pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban
konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.
Oleh karena itu, pengaturan dalam qanun yang banyak diamanatkan dalam Undang-
Undang ini merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional
tersebut dalam pelaksanaan pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, dan merupakan
acuan yang bermartabat untuk mengelola urusan pemerintahan secara mandiri sebagai
bagian dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengaturan kewenangan luas yang diberikan kepada Pemerintahan Aceh dan
pemerintahan kabupaten/kota yang tertuang dalam Undang-Undang ini merupakan
wujud kepercayaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di
Aceh.
Adanya ketentuan di dalam Undang-Undang ini mengenai perlunya norma, standar,
prosedur, dan urusan yang bersifat strategis nasional yang menjadi kewenangan
Pemerintah, bukan dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan yang dimiliki
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, melainkan merupakan bentuk
pembinaan, fasilitasi, penetapan dan pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat
nasional.
Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian
kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada. Kerja sama pengelolaan
sumber daya alam di wilayah Aceh diikuti dengan pengelolaan sumber keuangan secara
transparan dan akuntabel dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, serta
pengawasan. Selanjutnya, dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat
Aceh dilakukan pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, dan
pengentasan kemiskinan, dan kemajuan kualitas pendidikan, pemanfaatan dana
otonomi khusus yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pertumbuhan
ekonomi nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang bersifat nasional
dalam ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional,
kebijakan di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan
keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi
yang strategis, serta konservasi dan standardisasi nasional.
Yang dimaksud dengan kebijakan adalah kewenangan Pemerintah untuk
melakukan pembinaan, fasilitasi, penetapan dan pelaksanaan urusan
pemerintahan yang bersifat nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kebijakan administratif dalam ketentuan ini
adalah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, misalnya,
hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang ini seperti pemekaran
wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan
perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung
dengan daerah Aceh.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Pembentukan lembaga dimaksud termasuk pembentukan pusat
penanggulangan bencana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan :
Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Prosedur adalah metode atau tata cara untuk penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pelabuhan dalam ketentuan ini meliputi semua
pelabuhan yang dikelola Pemerintah, termasuk pelabuhan
penyeberangan di wilayah Aceh, kecuali pada saat diundangkannya
Undang-Undang ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara.
Yang dimaksud dengan bandar udara umum dalam ketentuan ini meliputi
semua bandar udara umum yang dikelola Pemerintah, termasuk bandar
udara umum perintis di wilayah Aceh, kecuali pada saat diundangkannya
Undang-Undang ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh yang menjalankan tugas
eksekutif dan DPRA yang menjalankan tugas legislatif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Laporan keterangan pertanggungjawaban merupakan laporan
kemajuan pelaksanan pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk
menjatuhkan gubernur.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Laporan keterangan pertanggungjawaban merupakan laporan
kemajuan pelaksanan pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk
menjatuhkan bupati/walikota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 8 ayat (3).
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah dalam ketentuan ini adalah
perangkat departemen dan/atau lembaga pemerintah non departemen
yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
daerah dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup Jelas
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Ketentuan tentang jumlah anggota KIP Aceh, kabupaten/kota memperhatikan
keterwakilan perempuan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Identitas bukti diri dapat berupa kartu tanda penduduk, paspor Republik
Indonesia, surat izin mengemudi, atau identitas kependudukan lain. Pernyataan
tertulis harus ditandatangani atau dibubuhi cap jempol dalam hal yang
bersangkutan tidak dapat menandatangani.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Menteri yang berwenang dalam ketentuan ini adalah
menteri yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan keanggotaan rangkap dalam ketentuan ini, membuka
ruang partisipasi anggota partai politik lokal dalam pemilu nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kata menetapkan dalam ketentuan ini dilakukan tidak dengan surat keputusan
Gubernur tetapi dengan surat Gubernur kepada Presiden.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lihat Penjelasan dalam Pasal 102 ayat (3).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kata menetapkan dalam ketentuan ini dilakukan tidak dengan surat keputusan
bupati/walikota tetapi dengan surat bupati/ walikota kepada Gubernur.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lihat Penjelasan dalam Pasal 105 ayat (3).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud setiap orang yang beragama Islam dalam ketentuan ini adalah
siapapun yang beragama Islam tanpa membedakan kewarganegaraan,
kedudukan dan status.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah hal
atau keadaan tertentu menurut undang-undang termasuk Qanun Aceh tentang
jinayah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan mitra dalam ketentuan ini adalah kebersamaan dan
kesejajaran dalam pemberian pertimbangan yang berkaitan dengan kebijakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
Ayat (4)
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya MPU memperoleh dukungan
keuangan dari APBA/APBK dan sumber lain yang sah menurut hukum.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan frasa yang peruntukannya digunakan untuk
kepentingan agama dalam ketentuan ini adalah seperti tanah wakaf yang
digunakan untuk antara lain masjid, madrasah, atau tanah yang digunakan
untuk tempat ibadah agama lain.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan frasa melakukan kerja sama dengan pemerintah
daerah dalam ketentuan ini adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya
berbatasan dengan wilayah Aceh.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kewenangan dalam menetapkan ketentuan di bidang
pers dan penyiaran adalah menjaga isi atau sirkulasi produk pers dan
penyiaran untuk tidak bertentangan dengan nilai Islam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kontrak kerja dalam ketentuan ini antara lain memuat
besarnya dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi serta jangka waktu jaminan
pelaksanaan reklamasi pascatambang.
Pasal 158
Cukup jelas
Pasal 159
Cukup jelas
Pasal 160
Ayat (1)
Ketentuan tentang darat dan laut adalah termasuk yang ada di dalamnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini adalah hal-hal yang telah disepakati bersama antara Pemerintah
dan Pemerintah Aceh, antara lain penunjukan atau pembentukan badan
pelaksana, tata cara negosiasi, membuat perjanjian kerja sama, penentuan
target jumlah produksi minyak dan gas bumi, produksi yang dijual (lifting) dan
pengembalian biaya produksi (cost recovery), bagi hasil, pengawasan,
pengembangan masyarakat, kewajiban reklamasi, dan penunjukan auditor
independen.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan frasa transportasi dan maritim dalam ketentuan ini
dimaksudkan juga untuk menjadikan Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang
sebagai pelabuhan utama (hub port) yang fungsinya sebagai pelabuhan imporekspor
(internasional) dan juga sebagai pelabuhan alih kapal (transhipment)
nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 170
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kewenangan lain dalam ketentuan ini antara lain
penataan ruang, kerja sama pengelolaan usaha baik dalam maupun luar
negeri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pendelegasian kewenangan adalah kewenangan
Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, dan Pemerintah Kota
Sabang yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Badan Pengusahaan
Kawasan Sabang. Dalam hal pelaksanaan pendelegasian tersebut
menghasilkan penerimaan, penerimaan tersebut merupakan penerimaan
APBA/APBK.
Ayat (3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimaksudkan
dalam hal Pemerintah, Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar,
dan Pemerintah Kota Sabang belum melimpahkan dan/atau mendelegasikan
kewenangan dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka Badan
Pengusahaan Kawasan Sabang berhak melaksanakan kewenangan setelah
mendapat persetujuan Dewan Kawasan Sabang dan perizinan yang telah
dikeluarkan dinyatakan tetap berlaku serta Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang pelimpahan kewenangan dan qanun yang mengatur tentang
pendelegasian kewenangan tidak berlaku surut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Ayat (1)
Kerja sama yang dimaksudkan dalam ketentuan ini meliputi semua
kewenangan pengelolaan yang pada saat Undang-Undang ini diundangkan
belum diserahkan kepada Pemerintah Aceh dan/atau kabupaten/kota.
Ketentuan ini tidak mencakup kewenangan mengenai keselamatan
penerbangan dan pelayaran antara lain navigasi penerbangan dan pemanduan
kapal dan/atau parkir pesawat.
Semua kewenangan pengelolaan yang telah diserahkan kepada pemerintah
kabupaten/kota yang meliputi parkir kendaraan umum, pemasangan iklan dan
retribusi kegiatan usaha di terminal tidak dikerjasamakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dana 30% (tiga puluh persen) dalam ketentuan ini dapat digunakan seperti untuk
peningkatan kapasitas aparatur, tenaga pendidik, pemberian bea siswa baik ke
dalam maupun ke luar negeri dan kegiatan pendidikan lainnya sesuai dengan
skala prioritas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 183
Ayat (1)
Pembiayaan pendanaan pendidikan dalam ketentuan ini dapat digunakan seperti
untuk peningkatan kapasitas aparatur, tenaga pendidik, pemberian bea siswa
baik ke dalam maupun ke luar negeri dan kegiatan pendidikan lainnya sesuai
dengan skala prioritas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini antara lain
terjadinya krisis keuangan daerah, krisis moneter nasional, krisis solvabilitas,
dan pemekaran daerah.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pertanggungjawaban pengelolaan dana pendidikan yang dibuat dalam bagian
tersendiri merupakan bagian dari pertanggungjawaban APBA/APBK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 194
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan auditor independen adalah tenaga ahli dan/atau tenaga
pemeriksa di luar Badan Pemeriksa Keuangan yang bekerja untuk dan atas
nama Badan Pemeriksa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kebijakan yang perlu dikoordinasikan kepada Gubernur adalah kebijakan yang
mencakup aspek ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
Ayat (4)
Yang dipertanggungjawabkan dalam ketentuan ini adalah sepanjang
menyangkut pelaksanaan tugas kepolisian yang memperoleh dukungan
APBA/APBK dan kegiatan lainnya di bidang ketentraman dan ketertiban yang
telah dikoordinasikan dengan Gubernur.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 205
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan satu kali lagi dalam ketentuan ini merupakan usulan
yang terakhir.
Ayat (5)
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang penuh
memberhentikan Kepala Kepolisian Aceh tanpa meminta persetujuan Gubernur
Aceh dan dalam hal-hal tertentu Gubernur dapat memberi pertimbangan
kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberhentikan
Kepala Kepolisian Aceh.
Pasal 206
Yang dimaksud keadaan mendesak dalam ketentuan ini adalah keadaan yang
menyebabkan Kepala Kepolisian Aceh tidak dapat menjalankan tugasnya dalam
menjamin keamanan dan ketertiban, melindungi dan melayani masyarakat.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persetujuan Gubernur dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14
(empat belas) hari sejak surat permintaan persetujuan diterima.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Jaksa Agung Republik Indonesia berwenang penuh memberhentikan Kepala
Kejaksaan Tinggi Aceh tanpa meminta persetujuan Gubernur Aceh dan dalam
hal-hal tertentu Gubernur dapat memberi pertimbangan kepada Jaksa Agung
Republik Indonesia untuk memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Ayat (1)
Yang dimaksud setiap orang adalah seseorang, orang perorangan, sekelompok
orang, atau badan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud harta agama dalam ketentuan ini adalah harta berupa tanah
yang digunakan untuk kepentingan agama.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pendidikan dasar dan menengah dalam ketentuan ini
meliputi juga pendidikan bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu dan
anak terlantar.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pendidikan layanan khusus dalam ketentuan ini adalah
pendidikan yang diperuntukkan penduduk Aceh yang berada di daerah
terpencil atau terbelakang dengan standar dan kurikulum yang disesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pendidikan khusus dalam ketentuan ini adalah
pendidikan yang diperuntukkan bagi penduduk Aceh kepada pemilik kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, serta diberikan yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang disesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 218
Ayat (1)
Yang dimaksud pendidikan formal termasuk madrasah ibtidaiyah dan
tsanawiyah. Khusus mengenai kurikulum pendidikan dayah diatur lebih lanjut
dengan qanun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Ayat (1)
Ketentuan ini bermaksud juga membina, mengembangkan, dan melestarikan
keragaman budaya dan seni daerah dalam upaya mempertahankan jati diri dan
membentuk kepribadian masyarakat Aceh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 222
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memelihara benda-benda bersejarah dalam ketentuan
ini termasuk tanda bekas tsunami.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Standar pelayanan minimal dalam ketentuan ini meliputi standar manajemen,
administrasi dan informasi, standar pelayanan dan obat, standar pembiayaan,
standar sarana dan prasarana, serta standar kualifikasi dan kompetensi tenaga
medis.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 225
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lembaga sosial kemasyarakatan dalam ketentuan ini
meliputi lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adat, organisasi
sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi, lembaga swadaya
masyarakat, serta dunia usaha yang memenuhi persyaratan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 226
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 225 ayat (2).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Cukup jelas.
Pasal 229
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini
adalah ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 230
Lihat penjelasan Pasal 229 ayat (3).
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 250
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana telah diubah dengan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan
Atas Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 2004.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Cukup jelas.
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal 273
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4633

Pageviews last month