Wednesday, May 20, 2009

MIMISAN ACEH

Adalah Sultan Iskandar Muda yang sengaja membelokkan aliran air Krueng Daroy ke dalam istana. Sultan Iskandar Muda melarang orang menebang pohon. Sultan selalu menjaga kebersihan dan kejernihan Sungai Krueng Daroy dan Krueng Aceh. Sehingga kedua sungai itu sangat higienis untuk tempat mandi bahkan menjadi obat penyembuh luka-luka pada bagian kulit”


Keberadaan Krueng Aceh pada masa Kesultanan Aceh Darussalam memiliki nilai yang sangat strategis dalam menumbuhkembangkan Bandar Aceh---sebagai ibukota Kesultanan Aceh Darussalam--- yang kosmopolit. Pasca pemindahan istana Kesultanan Aceh Darussalam dari Gampong Pande ke Darud-Duniya (Meuligo Aceh) sekarang, oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah (1267-1309 Masehi), situasi ibukota Kesultanan Aceh Darussalam;Bandar Aceh sangat ramai oleh lalu-lalang kapal-kapal besar yang masuk ke jantung kota.

Hal ini dimungkinkan, karena pada saat itu jalur Krueng Aceh merupakan jalur bebas hambatan untuk masuknya kapal-kapal perdagangan dan kapal penumpang. Sebab, tak ada tiang-tiang jembatan Peunayong dan Pante Pirak yang berdiri di tengah sungai pada saat itu.

Fungsi Krueng Aceh kala itu, sekilas hampir menyerupai fungsi dari Sungai Rhein---sungai terpanjang dan terbesar di Eropa. Aliran air sungai Rhein, mengalir dari Swiss, Austria, Jerman, Belanda, Liechtenstein, dan ke sejumlah kawasan lainnya di Eropa. Dan akhirnya sungai Rhein bermuara ke Laut Utara.

Menurut Nursyawal, jurnalis Radio Internasional (Deutsche Welle) Jerman kepada The Globe Journal di Keude Kupi De Helsinki (27/8) di Banda Aceh mengatakan, “Sungai Rhein setiap hari diramaikan oleh lalu-lalang kapal-kapal dagang dan kapal penumpang berukuran sangat besar. Kapal-kapal itu mengangkut barang dan juga orang menuju ke sejumlah kawasan di Eropa. Tak terjadi tabrakan atau pelanggaran lalu-lintas antara satu kapal dengan kapal lainnya.

Semuanya berjalan sesuai aturan yang berlaku di Sungai Rhein. Lalu, Rhein juga sangat bersih. Karena sistem tata-ruang rumah dan toko di Eropa, menghadapkan halaman muka ke depan sungai tersebut. Sehingga tak ada WC cemplung yang mengarah alirannya ke daerah aliran sungai tersebut.

Di sekitar jalur pinggiran Sungai Rhein, banyak ditumbuhi oleh sejumlah kebun anggur. Dan juga banyak bangunan-bangunan tua yang tetap terjaga dengan lestari dan utuh. Lalu banyak pula kapal penumpang yang mengangkut turis dan warga kota, yang memanfaatkan Sungai Rhein, sebagai jalur transportasi. Seterusnya, kapal-kapal besar yang mengangkut sejumlah barang, juga telah membuat sejumlah negara di Eropa ikut makmur akibat keberadaan sungai Rhein.

Dari segi sistem tata-ruang, kita perlu belajar banyak dari negara Eropa. Termasuk dari segi pengaturan aliran sungai. Kita perlu juga belajar dari model penataan Sungai Rhein, yang dilakukan pemerintah Jerman. Wilayah Jerman, merupakan wilayah terpanjang mengalirnya Sungai Rhein tambah kata Nursyawal yang 4 tahun tinggal di Jerman dan mewawancarai langsung Teungku Muhammad Hasan Di Tiro, pimpinan puncak GAM di Stockholm, Swedia

Krueng Aceh, dulu lebih bersih dari Rhein
Kondisi ini hampir menyerupai pula dengan fungsi Krueng Aceh dulu. Pada masa Sultan Iskandar Muda, Krueng Aceh sangat ramai disinggahi dan dilalui oleh kapal-kapal besar yang mengangkut barang. Dan juga sangat ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara, yang mengangkut sejumlah orang untuk berdagang ke Bandar Aceh.

Berdasarakan silsilah sejarah, pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, panorama di pinggiran Sungai Krueng Aceh dan Krueng Daroy banyak ditumbuhi oleh aneka pohon buah-buahan, dengan berbagai jenis rasa. Dan di sekitar Krueng Aceh dan Krueng Daroy, juga banyak ditumbuhi oleh aneka bunga yang mekar mewangi memenuhi Taman Bustanussalatin.

Terlebih dari itu, menurut Dr.Kamal A.Arif, M.Eng, tokoh majelis adat masyarakat Aceh Bandung menjelaskan pada zaman kesultanan Aceh Darussalam, air Sungai Krueng Aceh dipercayai memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sungai ini memiliki air yang bersih dan sehat, orang-orang yang memiliki berbagai macam penyakit datang dari berbagai daerah untuk mandi di sungai tersebut.

Francois Martin, seorang peneliti Aceh, pada tahun 1602, menduga air sungai yang bersih ini memperoleh khasiat untuk menyembuhkan penyakit, karena adanya tanaman obat-obatan seperti kamper, dan pohon benzoat yang ditanam di hulu sungai.

Para pedagang dari Arab, Turki, Kerajaan Mughal, dan dari berbagai tempat lain di seluruh India, setelah merasakan dan meminum air tersebut, mengatakan bahwa dari semua negara yang telah mereka kunjungi, tidak ada sungai yang seperti sungai di Krueng Aceh Darussallam, yang manis rasanya. Dan dapat menjadi obat bagi setiap manusia yang ikut minum dan mandi di dalam Krueng Aceh. Kondisi tersebut, juga berlaku sama bagi yang mandi dan minum di Darul-‘Isyki (Krueng Daroy), pada masa Kesultanan Aceh Darussalam dulu.

Adalah Sultan Iskandar Muda yang sengaja membelokkan aliran air Krueng Daroy ke dalam istana. Sultan Iskandar Muda melarang orang menebang pohon. Sultan selalu menjaga kebersihan dan kejernihan Sungai Krueng Daroy dan Krueng Aceh. Sehingga kedua sungai itu sangat higienis untuk tempat mandi bahkan menjadi obat penyembuh luka-luka pada bagian kulit.

Dari segi higienis, Krueng Daroy dan Krueng Aceh jauh lebih jernih dari Sungai Rhein. Kondisi Krueng Aceh dan Krueng Daroy, dapat lebih terjaga kedamaian dan kenyamanannya kala itu,karena semua aliran sungainya berada di bawah kedaulatan Sultan Iskandar Muda. Berbeda, dengan posisi Sungai Rhein yang melintasi sejumlah negara di Eropa, dimana pada masa lalu sering menjadi wilayah perebutan kekuasaan antara berbagai negara di Eropa. Sejak masa kekaisaran Romawi.

Namun kini Sungai Rhein---terutama yang melintasi wilayah Jerman--- jauh lebih bersih, indah, nyaman dan ramai oleh lalu-lalang kapal. Dibandingkan dengan kondisi Krueng Aceh sekarang. Krueng Aceh kini tampak menciut peran dan fungsinya dalam memacu kemajuan dan pertumbuhan perdagangan bagi Banda Aceh khususnya, dan wilayah Aceh pada umumnya.

Sehingga posisi Banda Aceh sebagai ‘Bandar Aceh’--- kota pelabuhan dan perdagangan ---kini kian meredup. Peran Krueng Aceh kini, lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat penambatan sekoci, juga sebagai tempat berlabuh Kapal Motor (KM) penangkap ikan nelayan di Peunayong dan Lampulo, atau kadang-kadang ada juga sesekali dimanfaatkan oleh kapal nelayan itu untuk mengangkut bahan-bahan material bangunan, seperti semen, seng, batu-bata dll. Kini, tak ada lagi kapal-kapal barang dan kapal penumpang yang berukuran besar, yang bisa masuk langsung ke jantung kota Banda Aceh. Hingga menembus jalur Pante Pirak.

Lalu, kondisi Krueng Daroy yang aliraannya berada di Taman Bustanussalatin
(sekitar Taman Putroe Phang hingga ke Keraton), kini juga mengalami dekonstruksi dan desakralisasi makna. Disamping aliran sungainya mulai kotor. Kawasan aliran Krueng Daroy, terutama di sekitar Taman Putroe Phang, kini juga hanya dijadikan kawasan tempat mengalirnya air limbah industri dan air limbah sampah dari berbagai lapisan warga kota Banda Aceh. Sangat menyedihkan kondisi Krueng Daroy dan Krueng Aceh kini, jika dibandingkan dengan masa keberadaannya dulu di era Sultan Iskandar Muda.

Sekarang, sudah saatnya fungsi Krueng Aceh dan Krueng Daroy dikembangkan lagi sebagai sebuah jalur pengembangan potensi perdagangan dan wisata bagi Banda Aceh. Melalui sistem penataan sungai yang bersih, jernih, sehat, ramah lingkungan, dan memperhatikan nilai etika sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Tak salah, jika keindahan dan keelokan pengelolaan sungai Rhein di Jerman, ditiru oleh Pemerintah Kotamadya Banda Aceh khususnya, dan juga oleh Pemerintah Aceh secara inklusif.

Adanya program kerja untuk membangun pelabuhan samudera baru di tepi muara Krueng Aceh, Lampulo, semoga program pembangunan tersebut bisa lancar. Dan juga dapat memperhatikan kearifan lokal yang telah pernah diwarisi oleh para’indatu Aceh.[003]

Pageviews last month