Wednesday, May 20, 2009

ANTARA ACEH DAN JAKARTA

Oleh: Andi Firdaus

“Memang betul Aceh sdh damai & aman, tapi kami juga butuh kesejahteraan,. Pemerintah Aceh hrs utamakan masa depan wrga Aceh dan dapat menyediakan lapangan kerja. Kami tak ingin jadi penggangur krn menyusahkan orang lain”

Pesan di atas dikirim seorang teman dari negeri jiran, Malaysia melalui Sort Message Service (SMS), Kamis (28/9). Ada ribuan warga Aceh kini dalam kegamangan dan ketidakpastian. Mereka khawatir setelah kerajaan malaysia menyatakan tidak memperpanjang lagi kartu tsunami bagi warga Aceh.


Teman itu juga kembali bertanya sekaligus meminta, bagaimana nasib kami? Sampaikan SMS ini ke pemerintah Aceh agar dapat merayu kerajaan Malaysia. Bahkan mereka lebih khawatir ketika pihak imigasi Malaysia memberi batas waktu hingga 5 Januari 2009. Pertanda, mereka tinggal menghitung jari untuk tetap bertahan di negeri jiran.
Pernyataan itu disampaikan Ishak Mohamed, Direktur Pelaksana Departemen Imigrasi, Malaysia dalam sebuah surat kabar International Herald Tribune, Selasa (26/8). Pernyataan itu tak hanya menghentakkan ribuan warga Aceh di seberang, namun pemerintah Aceh juga dibuat kelabakan.
Untuk kesekian kalinya, Pemerintah Aceh harus mengemis. Tak ada pilihan lain selain melakukan langkah strategis menciptakan sebuah kondisi yang tidak sulit. Wakil Gubernur Aceh dengan nada pasrah mengatakan, jika mereka dipulangkan secara bersama maka sangat sulit memberi mereka pekerjaan.
Ini keputusan pahit bagi 25 ribu lebih warga Aceh di negeri jiran—yang terdata saja--Dalam satu kesempatan, saya pernah berdiskusi dengan warga Aceh pertengahan Juli 2008 lalu di Choket, Kuala Lumpur. Dalam kesempatan itu mereka berharap, kartu tsunami bisa diperpanjang untuk memudahkan mereka mencari kerja.
Dengan alasan, di desa-desa yang mereka tinggalkan tak ada banyak harapan. “Akankah kami harus kembali duduk di warung kopi sehari suntuk?” kata Hamdani, warga Desa Lancok, Kecamatan Bandar Baru, Pidie.
Kekhawatiran Hamdani sama dengan ribuan warga Aceh lainnya. Pengangguran bukan hanya sekadar menciptakan kesengsaraan, namun juga menciptakan situasi yang dekat dengan kriminalitas. Meski kriminal dalam ruang lingkup terkecil sekalipun. “Untuk apa damai jika kesejahteraan rakyat Aceh belum didapat?” tambahnya.
Sebuah dilema bagi pemerintah Aceh. Sebab ada ribuan pengangguran yang terlebih dahulu ada di Aceh. Jika pun ditambah dengan 25 ribu lebih pengangguran lagi, maka kecemasan Aceh untuk terjadinya kekerasan baru terbuka peluang. Kita tak menginginkan ini terjadi. Ada sebuah pepatah klasik; Keberanian hanya ada pada orang lapar, bukan pada orang kenyang.
Mungkin benar kata mereka. Liat saja data dinas Tegana Kerja Privinsi Aceh yang menyebutkan, bahwa ada lima ribu pekerja siap pakai—berpendidikan--hingga kini masih nganggur. Bayangkan jika ada ribuan lainnya yang belum siap pakai? Tentu ini dilema beruntun menciptakan sosial konflik di tanah yang terlanjur berdarah.
Kekhawatiran yang wajar jika melihat ada 49 persen jumlah penduduk miskin dari total 4 juta jiwa. Belum lagi korban konflik mencapai 50 ribu lebih, termasuk mantan Tentara Nanggroe Aceh (TNA) sebanyk 12 ribu lebih, dan mereka belum punya pekerjaan.
Lihat saja laporan ekonomi Bank Dunia, pada November 2007, menjelang tugas BRR selesai pada April 2009. Peningkatan sumbangan sektor ekonomi konsumtif dan investasi terhadap perekonomian Aceh. Sektor konsumsi swasta menyumbang 49 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh tahun 2006. Namun, sumbangan bidang investasi terhadap PDRB Aceh pada tahun 2006 hanya 14 persen.
Jika benar seperti yang dilaporkan World Bank, maka pemerintah Irwandi dan Nazar harus bekerja ekstra keras menghadapi dilema dan kekhawatiran tersebut. Jika tidak maka tantangan akan terjadi konflik secara umum akan meluas. Inilah yang perlu dilihat dalam konteks kepulangan ribuan warga Aceh di Malaysia. Jika benar apa yang dikatakan Hamdani, maka damai tanpa memberi ruang bagi akses ekonomi akan menjadi momok tersendiri.

Ekonomi juga merupakan faktor penting menciptakan damai permanen. Politik yang bagi kebanyakan orang adalah pertaruhan hidup dan mati seperti perjanjian di Helsinki tak banyak membawa manfaat jika kesejahteraan yang disebutkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) menjadi sebuah utopia. Jika hanya memberi obat penenang demi perdamaian stagnan.

Sebelumnya, sektor pertanian yang menjadi andalan penyerapan tenaga kerja tidak mampu berbuat banyak. Dan pemerintah sendiri mengakui hal itu sebelumnya, melalui Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh, Abdul Rahman Lubis, bahwa permasalahan ketenagakerjaan merupakan salah satu persoalan yang harus dicarikan solusi.

Bayangkan kondisi Aceh kini, pengangguran sudah mencapai 76,89 persen dari penduduk Aceh 4,2 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, maka kemiskinan pun ada di depan mata hingga mencapai 48,23 persen. Jika pemerintah tidak mempu menekan angka kemiskinan, maka sudah pasti itu merupakan musuh perdamaian.

Jika dilihat dari angka dan kondisi Aceh kini, sepantasnya pemerintah mulai sekarang melakukan langkah strategis dalam kontek menciptakan perdamaian pernanen. Mungkin benar apa yang dikatakan rekan saya, bahwa damai harus diiringi dengan kesejahteraan warganya. Tak perlu mengemis dari negara jiran, jika Aceh masih dianggap sebagai wilayah kaya.

Dalam bahasa saya, damai tak berfungsi substansial jika pemerintah tidak mampu menurunkan angka kemiskinan. Ada hembusan angin surga yang dikatakan awal Juli tahun 2007 lalu oleh Kasi Informasi Departemen Ketenagakerjaan (Depnaker) Aceh, T Dami SH, bahwa tahun 2008 pemerintah akan memprioritaskan pembangunan ekonomi, memperluas tenaga kerja dan upaya penggulangan kemiskinan. Sudah terasakah hingga mamasuki Agustus 2008 ini?

Saya ingin katakan bahwa kepulangan warga di Aceh tidak menjadi momok menakutkan, apalagi dianggap sebagai bencana. Seharusnya pula, kepulangan mereka bisa dilihat dalam kontek yang positif guna memajukan perekonomian Aceh ke depan. Tak perlu mengemis, jika Aceh dianggap sebagai sebuah bangsa di mata ban Sigom Donya. Dilema yang tak seharusnya menjual harga diri sebagai sebuah bangsa.***

Pageviews last month