Monday, April 27, 2009

PARNAS

Secara umum pemilu 2009 memang berbeda dengan pemilu 2004. Namun, yang menarik nanti adalah ketika parlok menjadi peserta pemilu

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang akan dilaksanakan pada 5 April 2009. Artinya, pemilu memilih anggota DPR, DPD dan DPRD masih menyisakan waktu satu tahun lagi. Namun, suasana perhelatan demokrasi tersebut semakin menghangat, baik supra struktur politik maupun infra struktur politiknya, dari tingkat pusat sampai daerah.

Dalam konteks supra struktur politik, DPR dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pembentuk dan pelaksana undang-undang, saban hari disibukkan dengan penggodokan undang-undang politik. Dimana sampai saat ini telah berhasil disahkan UU No.22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No.2/2008 tentang Partai Politik dan UU No.10/2008 tentang Pemilu.

Namun demikian, pasca pengesahan UU Pemilu telah berdampak tuntutan yudicial review UU Pemilu oleh DPD. Hal ini karena persyaratan domisili dan bukan dari parpol tidak lagi menjadi persyaratan. Padahal, sebelumnya Pasal 63 UU No12/2003 tentang Pemilu disebutkan: a) calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; b) tidak menjadi pengurus parlok sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.


Sedangkan konteks infra struktur politik, masih seperti pemilu 2004 lalu banyak memunculnya parnas-parnas baru sebagai peserta pemilu. Dimana para fungsionaris parnas baru tersebut juga masih didominasi oleh para politikus era Orde Baru. Dengan adanya perundang-undangan baru mengenai pemilu 2009, pelaksanaan pemilu akan berbeda dibandingkan pemilu 2004. Diantaranya, keberadaan parpol sebagai peserta pemilu menjadi semakin kuat dan luas. Hal ini dikarenakan selain pencalonan anggota DPR, calon anggota DPD dimungkinkan boleh dari parpol.

Parnas vs parlok
Secara umum pemilu 2009 memang berbeda dengan pemilu 2004. Namun, yang menarik nanti adalah ketika parlok menjadi peserta pemilu. Sehingga akan terjadi kompetisi antara parnas dengan parlok. Siapakah yang akan jadi ”jagoannya”, parnaskah atau parlok? Hanya rakyat Aceh yang bisa menentukan, akankah memilih parnas yang selama ini telah membuktikan bertahta demi kepentingan pribadi dan partainya? Atau parlok yang masih membutuhkan pembuktian akankah memihak kepada rakyat atau pribadi dan kelompok?

Dalam Pasal 75 ayat (1) UUPA dan PP No.20/2007 tentang Partai Lokal di Aceh disebutkan, penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Walaupun parlok dan parnas di Aceh berkompetisi namun berbeda mengenai pencalonan anggota legislatif. Kalau parnas boleh mencalonkan diri untuk anggota DPR dan DPRA/DPRK, tetapi parlok hanya mencalonkan diri untuk anggota DPRA/DPRK. Artinya, kompetisi antara parnas dan parlok hanya pada tingkat lokal tidak termasuk pencalonan anggota DPR.

Oleh karena itu, keberadaan dan relasi parlok dengan rakyat Aceh akan lebih dekat dibandingkan parnas. Menurut Pasal 7 ayat (1-5) PP No.20/2007, kepengurusan parlok berkedudukan di ibu kota Aceh dan dapat mempunyai kepengurusan sampai kelurahan/gampong. Sedangkan, parnas sesuai Pasal 17 ayat (1-3) UU No.2/2008 tentang Partai Politik disebutkan organisasi parnas terdiri atas tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kelurahan/desa, mempunyai hubungan kerja bersifat hierarkis.

Melihat keberadaan parnas dan parlok tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Dalam konteks hubungan dengan konstituen, parlok lebih diuntungkan daripada parnas, karena hierarki tertinggi di tingkat provinsi. Sedangkan, parnas walaupun ada juga di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kelurahan dan desa, tetapi hierarki tertinggi di Jakarta. Disinilah, sebenarnya latar belakang tuntutan adanya parlok di Aceh. Diharapkan dengan adanya parlok kebijakan pencalonan anggota dewan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan aspirasi dan kepentingan daerah (Aceh) tanpa adanya intervensi dari pusat (Jakarta).

Namun, apabila melihat pengalaman mengelola dan menjalankan partai perbedaannya sangatlah kentara. Parnas tentu saja sangat berpengalaman, terutama dalam membangun jaringan dan hubungan dengan konstituennya. Berbeda dengan parlok yang masih berupa “orok” sebuah parpol yang belum berpengalaman menjalankan organisasi parpol. Kecuali, pengalaman para figur parlok dalam organisasi massa dan organisasi politik lainnya. Pengalaman inilah kemungkinan besar dijadikan sebagai “jala” untuk menjaring dan melakukan perhubungan dengan massa (konstituen).

Hal ini pernah dilakukan dalam pemilihan kepala pemerintahan (pilkapa) Aceh, 11 Desember 2006 lalu. Dimana, calon independen terutama mewakili GAM meraih suara mayoritas dibandingkan calon mewakili parnas. Akankah, fenomena pilkapa dapat terulang pada pemilu 2009? Sekali lagi hanya rakyat Aceh yang dapat menentukan. Berangkat daripada persoalan ini sayogianya rakyat Aceh perlu selektif dalam memilih. Rakyat perlu menyadari merekalah sebenarnya subyek dan pemegang otoritas pelaksanaan pemerintahan.

Sedangkan, anggota-anggota DPR, DPD dan DPRD yang dipilih selama ini tidak lebih sebagai wakil mereka. Oleh karena itu, ketika para anggota legislatif menempatkan rakyat sebagai obyek bukan subyek. Sewajarnyalah, pada pemilu 2009 mendatang tidak lagi dipilih baik sebagai calon anggota DPR, DPD maupun DPRA/DPRK.

Jejak politisi partai
Apabila fenomena pilkapa Aceh terulang kembali pada pemilu 2009, artinya calon-calon anggota DPRA/DPRK yang terpilih mayoritas mewakili daripada parlok. Keniscayaan, bagi anggota DPRA/DPRK yang mewakili parlok tidak mengikuti jejak para politisi parnas. Dimana, selama ini tidak peka terhadap konstituen yang telah memilih mereka. Seperti telah dipraktikkan DPRD Aceh Barat, Aceh Selatan dan Banda Aceh, pembahasan dan pengesahan APBD tidak peduli terhadap aspirasi masyarakatnya. Kemudian, anggota DPRD Aceh Utara yang berani mengangkangi undang-undang hanya untuk memperoleh fasilitas mobil. Padahal, keberadaan masyarakat di daerah-daerah tersebut sangatlah memprihatinkan.

Kekhawatiran ini sangatlah beralasan karena walaupun mereka telah dipilih oleh rakyat sebagai anggota legislatif dan menjadi wakil rakyat. Tetapi, tidak ada garansi mereka akan membela konstituennya, karena para wakil rakyat ini lebih takut kepada partai daripada konstituennya. Bagaimanapun sistem pengambilan keputusan pengangkatan dan pemberhentian anggota partai antara parnas dengan parlok tidaklah berbeda. Sebagaimana Pasal 16 ayat (1-3) UU No.2/2008 tentang Parpol disebutkan, pemberhentian anggota partai diatur dalam peraturan parpol. Kalau yang diberhentikan dari partai adalah anggota legislatif, maka keanggotaanya di dewanpun hilang. Begitu juga isi Pasal 9 PP No.20/2007 tentang Parlok di Aceh, pemberhentian anggota partai dilakukan oleh parlok.

Posisi dilematis inilah yang menjadikan anggota dewan bersikap ambivalen, mengaku sebagai wakil rakyat tetapi lebih mementingkan partainya. Tidak terkecuali parlok, walaupun keberadaannya lebih dekat dengan konstituen dan tidak adanya intervensi dari Jakarta tetapi, kecenderungan mengutamakan kepentingan partai daripada konstituennya sangatlah terbuka. Padahal, keniscayaan apabila sudah menjadi wakil rakyat, yang diutamakan adalah kepentingan rakyat bukan partai.

Untuk itu, mutlak bagi parlok menjalankan fungsi partai seperti disebutkan Pasal 79 UUPA, yaitu sebagai sarana: a) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat; b) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat; c) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat; dan d) partisipasi politik rakyat.

Tetapi, apabila sebaliknya maka tidak ada perbedaan keberadaan parlok dan parnas di Aceh. Kecuali, bertambah banyaknya muncul kelompok-kelompok oligarkis di Aceh, mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi. Sehingga menjadikan keberadaan parlok sebagai lembaga politik tidak bermakna dan sia-sia. Begitu juga dengan parnas apabila tidak ingin ditinggalkan oleh konstituennya dan berpindah mendukung parlok, perlu segera menjalankan fungsi-fungsi partai. Kemudian merubah orientasi kepentingan dari kepentingan pribadi dan kelompok kepada kepentingan rakyat atau konstituennya. [Amrizal J. Prang |
Mahasiswa Pascasarjana Universiti Kebangsaan Malaysia dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

Pageviews last month