Tuesday, February 3, 2009

MEMBEDAH IAIN

Membenahi IAIN Ar-Raniry
Oleh Israk Ahmadsyah, M.Ec·



Cukup menarik perhatian kita ketika seorang mahasiswa mengeluh pada Serambi melalui rubrik ‘droe keu droe’ (Serambi 25 April 2007) bahwa saat ini IAIN Ar-Raniry sedang menghadapi kemunduran kinerja (dalam dunia pendidikan) baik itu di sisi pengajaran, fasilitas pendidikan. Ironisnya ini terjadi di saat melimpahnya dana bantuan. Aneh memang, penyakit yang selama ini dilekatkan pada lembaga seperti BRR namun telah menjangkiti sebuah institusi mulia ini. Benarkah demikian?


Ada apa dengan IAIN Ar-Raniry?


Lembaga institusi agama setingkat IAIN cukup dirasakan penting kehadirannya demi untuk melahirkan generasi yang bukan saja berpengetahuan tinggi namun sekaligus memiliki akhlak yang tinggi. IAIN adalah sebuah lembaga tinggi yang diharapkan mampu melahirkan SDM yang progresif dan berakhlak, seperti yang digambarkan oleh Dr. Mahathir Muhammad, yaitu SDM yang mau mengejar penguasaan ilmu pengetahuan, namun pada saat yang sama juga memiliki nilai amanah, rajin, tekun, punya rasa malu dan tidak menyalahkan gunakan kekuasaan (Serambi 4 Mei 2007). Menjadi sebuah perntanyaan kita akhir-akhir ini, mampukah IAIN memenuhi harapan tersebut?


Tidak dipungkiri, bahwa sebagian dosen IAIN Ar-Raniry memiliki pekerjaan ganda. Sebenarnya sah-sah saja seorang dosen punya pekerjaan sampingan di saat meningkatnya kebutuhan hidup akibat dari keterdesakan ekonomi seperti peningkatan pada harga barang. Hal itu dikatakan sah manakala tugas utama seorang dosen tidak terabaikan, yaitu mendidik dan mengasuh mahasiswanya. Yang terjadi dilapangan, pekerjaan sampingan itu, baik yang bekerja di BRR maupun di berbagai NGO, ternyata telah mengorbankan dunia pendidikan IAIN. Ini karena, BRR dan NGO tidak menerima staf yang bekerja diluar jam perkuliahan. Cukup dimaklumi bahwa lembaga seperti BRR dan NGO menuntut stafnya untuk bekerja sepenuhnya, sejak dari segi waktu yang digunakan, maupun pemikiran. Lantas, mungkinkah seorang dosen, dengan kewajiban yang telah menumpuk masih mampu memikirkan kamajuan lembaga pendidikan di IAIN padahal IAIN adalah amanah yang paling utama bagi mereka?

Ternyata rangkap tugas ini juga terjadi dalam bentuk lain, hanya bedanya mereka masih dalam ruang lingkup IAIN. Sebagian dosen yang berstatus ‘izin belajar’ ternyata juga masih memegang jabatan pada fakultasnya. Meskipun dari kacamata keterlibatan mereka terhadap IAIN masih melekat, namun dilihat dari sisi amanah, maka ini sangat berbenturan. Ironisnya lagi, jika kemudian ada dosen yang memiliki status izin belajar di berbagai tempat baik di Indonesia maupun diluar negeri, kembali ke Aceh untuk bekerja pada NGO.

Dari segi bantuan dana, sebenarnya IAIN masih bisa tersenyum. Banyak donator telah ikut membantu IAIN, baik dari Canada, Australia, Malaysia dan berbagai negara lainnya termasuk bantuan IDB baru-baru ini. Namun, ternyata bantuan ini masih belum menyentuh secara maksimal akan kebutuhan utama dunia belajar-mengajar. Umumnya, sebuah Institusi tinggi yang punya kualitas baik, akan memiliki fasilitas perpustakaan yang baik, laboratorium komputer yang memadai dan ruangan kelas yang mendukung. Inilah tempat mahasiswa menambah khazanah ilmu pengetahuannya. Kenyataanya, meskipun sudah banyak dilakukan program studi banding sejak dulu, baik itu ke Malaysia, Amerika, Jerman, namun perpustakaan IAIN masih saja ‘kurang’ kalaupun tidak dikatakan ‘kumuh’. Sayang, meskipun ide membangun perpustakaan ini sudah diletakkan oleh Alm. Prof. Safwan Idris -terbukti beliau mengirimkan dosen pada bidang ‘Master of Library Science’-, namun belum juga mampu merubah wajah perpustakaan IAIN. Permasalahannya, selain dana yang tidak dialokasikan untuk peningkatan fasilitas pustaka, mereka yang ahli di bidang perpustakaan ini ternyata tidak dipakai untuk mamajukan perpustakaan.

Selain pustaka, maka fasilitas utama lainnya adalah laboratorum komputer dan kelas untuk mengajar. Harusnya, setiap fakultas memiliki laboratorium komputer dan sudah sepantasnya juga, jika pada setiap fakultas, memiliki sebagian ruang kelas yang dilengkapi dengan fasilitas komputer untuk para mahasiswa mempresentasikan hasil skripsi atau praktek kerja lapangan. Jika dana yang ada ini diarahkan pada hal-hal di atas, saya yakin, mahasiswa tidak akan merungut untuk apa IAIN beli Inova?. Karenanya, rungutan mahasiswa dirasakan pantas, manakala berbagai dana bantuan masih belum menyentuh kebutuhan mereka.

Membenahi IAIN

Kita sangat yakin bahwa seluruh ‘stake holders’ IAIN mengharapkan IAIN mampu melahirkan generasi yang berbobot baik segi ilmu maupun akhlak. Karenanya, demi untuk memajukan keberhasilan ini, IAIN perlu merubah paradigma pola pembangunan pendidikan dari konservatif kearah progresif (meminjam istilah Dr. Mahathir). Langkah pertama, mengembalikan sifat ‘amanah’ pada setiap pejabat IAIN, dosen, tenaga adminstratif dan mahasiswa. Sulit mengharapkan melahirkan mahasiswa yang amanah manakala penggerogotan nilai amanah masih dipertontonkan oleh sebagian para penguasa dan pendidik di lingkungan IAIN. Mengembalikannya, tentu tidak mudah, karena dituntut pengorbanan. Karenanya sudah sepantasnya perhatian kepada lembaga ini dikembalikan, dan tidak lagi menganaktirikan IAIN setelah BRR dan NGO atau lembaga lainnya. Status rangkap tugas juga perlu dibenahi. Sepantasnya juga, yang berstatus izin belajar mundur dari jabatan.

Kedua, dana yang dipakai, baik yang bersumber dari APBD ataupun lainnya harus menyentuh prioritas yang sangat dibutuhkan mahasiswa. Selama paradigma konservatif masih dianut, maka selama itu dana bantuan tidak akan mampu memicu kualitas pendidikan. Karenanya, fasilitas yang dibangun sudah selayaknya adalah fasilitas yang sangat menyentuh kualitas pendidikan, baik itu perpustakaan, laboratotium komputer dan ruang kelas untuk presentasi hasil kerja mahasiswa. Di sisi lain, perlu adanya kebijakan dari pihak rektorat dan perhatian penuh PEMDA Aceh untuk mengalokasikan dana tambahan dalam pengajaran. Sehingga dosen tidak berdalih bahwa ‘income’ mereka terlalu kecil dan akhirnya meninggalkan kampus. Dua langkah awal ini diharapkan mampu merubah wajah IAIN Ar-Raniry kedepan. Semoga!

· Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry dan Mahasiswa Pasca Sarjana Human Resource Management, Business School, University of Birmingham, United Kingdom

Pageviews last month