Monday, April 27, 2009

ANTARA GERAKAN

Gerakan Mahasiswa Aceh \"Gerakan Banci\"
Saiful Mahdi | Kontributor The Globe Journal

Sekitar pertengahan tahun 2002 kami pernah diundang teman-teman pengurus Pemerintah Mahasiswa (Pema) Unsyiah untuk berdiskusi tentang sesuatu yang berkenaan dengan Amerika. Mungkin karena waktu itu kami baru pulang dari studi pasca sarjana dari negeri adidaya tersebut. Kami tak ingat lagi apa yang jadi topik diskusi waktu itu, tapi satu hal masih sangat jelas terekam dalam memori: moderator yang memimpin diskusi, salah seorang “menteri” dalam Pema Unsyiah, sangat anti Amerika.

Demikian besarnya kebencian aktivis mahasiswa tersebut sepertinya dia kehilangan daya pikirnya kala itu. Apapun komentar kami tentang Amerika yang positif selalu dibantah atau dibelokkan oleh moderator, yang kami yakin belum pernah ke Amerika. Seolah-olah tak ada yang betul dengan yang namanya Amerika yang kala itu baru bereaksi atas serangan 11 September di negerinya—salah satunya berupa serangan terhadap rejim Taliban di Afghanistan pada bulan Desember 2001 . Sementara peserta diskusi yang rata-rata adalah junior sang menteri tak banyak bicara.

Membaca berita tentang demo mahasiswa terhadap Dubes AS Cameron R Hume di Unsyiah di TGJ (30/1) bukan sekedar membawa kembali kelebat ingatan tentang diskusi tersebut, tapi membuat kami berpikir apa kira-kira yang ada dalam benak para mahasiswa tersebut, yang ikut diskusi tahun 2002 itu dan yang ikut demo atas nama KAMMI Aceh baru-baru ini. Tentu saja ada yang berpikir bahwa mereka sedang melakukan “amar ma’ruf nahi mungkar” terhadap negeri yang saat dipimpin Bush cenderung lebih dibenci oleh berbagai bangsa di dunia, khususnya ummat Islam. Pamor Amerika memang sangat buruk selama delapan tahun di bawah pemerintahan Bush yang didukung kaum konservatif-evangelis Amerika.

Masalahnya adalah ketika kita menganggap kebijakan dan pemerintah Amerika, apalagi seorang Bush, sama dengan rakyat Amerika yang sebagian besar anti perang, toleran, cinta damai, terbuka, jujur, dan tidak mendukung Bush—terbukti dengan terpilihnya Obama. Bahkan banyak rakyat Amerika yang mengutuk serangan Israel terhadap Ghaza baru-baru ini. Israel sendiri buru-buru menarik diri dari Ghaza sebelum Obama dilantik jadi presiden karena mereka tahu Obama tidak sama dengan Bush.

Mengkerdilkan Amerika sebagai pemerintahnya yang sedang berkuasa, apalagi sekedar sosok presiden model Bush, adalah seperti mengkerdilkan Islam sebagai “arab” dan “teroris”—sebuah kesalahan yang, sayangnya, memang masih sering terjadi dalam pikiran sebagian orang Amerika (dan Indonesia!). Tapi apakah kita perlu melakuka kesalahan yang sama? Padahal kita sendiri sering mempertahankan Islam dengan mengatakan: “Islam tidak sama dengan muslim, jadi kalau ada muslim yang teroris, tidak berarti Islam identik dengan teroris.”

Demo mahasiswa terhadap Dubes AS adalah sah sah saja sebagai hak berdemokrasi setiap warga Indonesia. Apalagi bagi mahasiswa, sayang rasanya kalau tidak pernah menyuarakan aspirasinya dalam bentuk demo. Sayangnya, demo tersebut nyaris riuh karena amarah dan kesumat yang tak beralasan terhadap yang namanya Amerika. Lebih parah lagi, sikap mahasiswa konon tidak mencerminkan adat budaya Aceh yang Islami dalam menghormati tamu. Apakah karena tamunya kafir sehingga tak perlu dihormati?

Kami yakin ada orang Amerika yang senang kalau membaca berita demo mahasiswa Aceh terhadap Dubesnya untuk membela Palestina. Tapi yakinlah, tak kan ada orang Amerika yang setuju dengan cara-cara tidak sopan. Karena salah satu ciri orang Amerika yang positif adalah mereka bisa menghargai hak-hak orang lain sekali pun orang itu adalah musuhnya. Mereka juga relatif lebih taat hukum dan mengikuti aturan yang ada.

Demo mahasiswa KAMMI terhadap Dubes AS menjadi perbincangan hangat di warung-warung kopi dan berbagai milist di dunia maya. Sejumlah pihak menuding demo mahasiswa tersebut lemah, untuk tidak menyebut salah, karena tiga alasan. Pertama, demo itu dilakukan oleh KAMMI di dalam kampus Unsyiah, padahal KAMMI adalah organisasi luar kampus. Kedua, tujuan demo untuk membela Palestina dianggap sebagai usaha mengalihkan isu dari masalah alokasi anggaran untuk underbow partai yang akan bertarung dalam Pemilu Legislatif pada bulan April depan, yang konon melibatkan pengurus partai nasional.

Ketiga, saat isu Palestina memang penting dan sangat politis, gerakan mahasiswa di Aceh justru cenderung a-politis terhadap isu-isu lokal. Mahasiswa begitu berani berteriak untuk isu seperti Palestina karena isu ini adalah pilihan aman dalam bergerakan. Tak kan ada aparat keamanan apalagi militer yang mengancam aktivitas mahasiswa untuk Palestina. Demikian juga dengan gerakan sosial mahasiswa untuk korban bencana alam yang belakangan makin sering dilakukan. Selain aman, tentu saja gerakan-gerakan mulia ini diharapkan mendapat ganjaran dari Ilahi.

Lain halnya dengan gerakan mahasiswa progresif pro ummat. Membela ummat yang tertindas di lingkungan kita sendiri tentu saja lebih beresiko. Bicara hak-hak pengungsi, penggusuran pedagang, pengambil alihan lahan oleh orang bersenjata atau berseragam, rasa aman yang hilang karena kriminalitas yang tinggi—membawa resiko berhadapan langsung dengan para pelaku penindasan. Apalagi di Aceh yang pernah didera konflik berkepanjangan.

Adakah ini pertanda bahwa sebenarnya kasak-kusuk dalam gerakan mahasiswa di Aceh bukan kasak-kusuk ideologis seperti diperkirakan banyak orang? Bukan karena masalah “kanan” atau “kiri”, konservatif atau liberal, tapi sekedar pilihan mana yang paling aman. Seperti halnya pilihan aman gerakan kembali ke mesjid kampus saat rejim Orba sedang represif-represifnya. Ah, jangan-jangan betul anggapan sebagian orang bahwa gerakan mahasiswa (Aceh) sekarang adalah “gerakan banci” yang mau aman saja?

Pageviews last month